Minggu, 07 Oktober 2012

SBM


E-Learning & Blended Learning As Learning Choices In Digital-Era Belong Reality Of Education Climate In Indonesia
Review oleh: Siti Nur Ainunnajah

E-learning dan blended learning merupakan suatu terobosan yang bisa (dan telah diterapkan sebagian sivitas akademik) sebagai upaya yang luarbiasa bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia terutama dalam rangka terwujudnya cara belajar siswa aktif (CBSA) yang maksimal. Selain mendorong siswa/mahasiswa untuk ikut berperan aktif dalam proses  pembelajaran, penerapan model e-learning dan blended learning ini juga memungkinkan siswa/mahasiswa untuk memperoleh pengetahuan dan mengembangkan keterampilan kognitif dan manual, kreatifitas, dan logika berfikir berdasarkan aktifitas yang dilakukan, sehingga mereka akan terbiasa untuk memecahkan masalah mereka sendiri yang tentunya akan sangat aplikatif bagi kehidupan peserta didik sehari-hari.
Selama ini seringkali ditemukan hambatan dalam proses pembelajaran konvensional di kelas yang disebabkan oleh metode dan model pembelajaran yang monoton dan kurang interaktif, sehingga menimbulkan kebosanan pada diri siswa sehingga berujung pada terjadinya kesulitan belajar serta kegagalan pencapaian ketuntasan minimal yang telah ditentukan. Karenanya pelaksanaan proses pembelajaran perlu disesuaikan dengan kepekaan indera dan sensitifitas siswa dengan menggunakan multi media, multi metode serta multi model pembelajaran. Maka e-learning dan blended learning dapat menjadi salah satu jawaban dan solusi untuk memperkaya skill serta meningkatkan performa pendidik maupun peserta didik dalam proses pembelajaran.
Namun harus diakui tidak ada media, metode, dan model pembelajaran yang sempurna. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurang pada situasi dan kondisi tertentu, begitu pula e-learning. Untuk menjawab keterbatasan waktu, ruang, tenaga dan sumber belajar, e-learning bisa menjadi solusi yang dapat diandalkan karena semua bisa dilakukan melalui jaringan internet didunia maya kapanpun dan dimanapun. Tapi tak ada media dan model pembelajaran satupun yang dapat menggantikan posisi guru 100%, maka kehadiran atau proses tatap muka dengan guru sangat diperlukan. Memang dalam e-learning tidak dikatakan bahwa proses pembelajaran tidak ada keikutsertaan guru, dengan perkembangan teknologi supercanggih seperti saat ini apapun bisa dilakukan dengan mudah, forum diskusi bisa dilakukan secara langsung dengan video interaktif, 3G salah satunya. Ya dalam hal pembelajaran dimana guru sebagai fasilitator hal tersebut bisa dilakukan tanpa tatap muka langsung. Namun jika berbicara bahwa guru sebagai pendidik, maka pertemuan didunia maya sangatlah tidak cukup. Pendidik harus berkomunikasi dan mengetahui kondisi perseta didiknya secara langsung dalam hal pembentukan karakter, kepribadian, EQ maupun SQ. Terlebih lagi bahwa salah satu kelemahan model pembelajaran e-learning adalah bisa menimbulkan perasaan sendiri atau kesepian sehingga si pembelajar akan cepat bosan atau tidak mampu bertahan cukup lama dalam proses belajar.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan orang lain entah itu teman, orang tua, tentor terutama pendidik atau guru sebagai sharing partner dan motivation resource, merupakan bagian penting dalam menunjang keberhasilan proses belajar dan pembelajaran seseorang. Sebab keberhasilan belajar sangat dipengaruhi perilaku, karakter atau pola belajar seseorang. Ada yang cenderung lebih mudah menyerap serta memahami materi belajar melalui indera pengelihatannya (visual), ada yang cenderung lebih mudah dengan mendengarkan (audio), ada yang lebih mudah dengan bergerak atau mengaplikasikannya melalui gerakan (kinestetik) atau bahkan perpaduan dari ketiganya. Begitu pula dengan suasana belajar, ada yang lebih suka belajar disuasana sepi atau sendiri tapi ada juga yang sebaliknya. Tapi apa dan bagaimanapun karakter atau pola belajar seseorang, ia membutuhkan tempat untuk mengkroscek kebenaran apa yang sedang dipelajarinya, dan disinilah peran orang lain khususnya guru.
Maka sangatlah benar bahwa paradigma yang harus digunakan dalam mengembangkan e-learning adalah enrichment (pengayaan) bukan replacement (pengganti). Kualitas proses pembelajaran dikelas tidak akan berkurang melainkan akan semakin meningkat apabila program e-learning ini dilakukan secara maksimal sebagaimana mestinya. Karena setajinya e-learning merupakan penunjang untuk meningkatkan kemantapan pengetahuan awal siswa  maupun guru, sehingga forum belajar dikelas akan lebih berkualitas, efektif dan efisien. Meskipun ada instansi pendidikan yang prosentase proses pembelajaran yang dilakukan lebih banyak online, e-learning dibandingkan tatap muka langsung. Tentu kualitas output peserta didiknyalah yang nantinya akan menjawab baik atau tidaknya pilihan program pendidikan yang diambil.  
Selain itu, karena dalam mengaplikasikan e-learning dan blended learning dibutuhkan sumberdaya yang lebih, mulai dari kemampuan penguasaan TIK (teknologi informasi dan komunikasi) dari pendidik maupun peserta didik, perangkat pendukung untuk melaksanakan e-learing mulai dari  PC dan jaringan internet dan sebagainya. Intinya dibutuhkan sumberdaya financial yang cukup besar. Maka yang menjadi pernyataan adalah apakah masyarakat mampu dan apakah pemerintah berinisiatif, mau dan mampu memberikan fasilitas yang memadai. Karena ketika membicarakan peningkatan mutu pendidikan, kita harus membicarakan mutu pendidikan seluruh masyarakat dari Sabang sampai Merauke bukan masyarakat Jawa saja. Oleh karena itu, juga harus diperhatikan apakah pendidikan serta pembangunan diseluruh wilayah negeri ini sudah merata atau belum, apakah infrastruktur dan jaringan komunikasi sudah merata. Bahkan masih ada pelajar yang pergi dan pulang sekolah menggunakan rakit, berjalan dan menyebrangi sungai yang tak berjembatan sehingga harus basah-basahan. Apalagi anak-anak yang hidup di daerah perbatasan, dan itulah yang terjadi di Indonesia.
Bukan berarti e-learning tidak cocok dan tidak bisa diterapkan, sangat bisa karena ini merupakan buah pemikiran yang sangat bagus bagi kemudahan dan peningkatan kualitas belajar siswa serta menjawab tantangan perkembangan zaman, dan itu telah terbukti bermanfaat oleh sebagian siswa  di instansi pendidikan di kota-kota besar di pulau Jawa. Tapi disamping itu, selain model pembelajaran yang bertekhnologi tinggi dan modern, kita juga harus mampu menciptakan media-media, metode-metode dan model-model pembelajaran lain yang kreatif dan inofatif sekaligus hemat biaya yang bisa diterapkan bagi mereka yang tidak mampu menikmati fasilitas pendidikan yang canggih. Pemerintah dapat memberilkan penyuluahan serta pelatihan bagi para tenaga pendidik untuk meningkatkan motifasi, kreativitas serta daya inovasi pendidik guna menciptakan pembelajaran yang efektif. Tentu hal ini tidak akan terwujud apabila tidak timbul kesadaran dari dalam diri tenaga pendidik akan tugas mulia mereka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kesadaran inilah yang menjadi motor terbesar yang menggerakkan tenaga pendidik untuk secara tulus ikhlas menjalankan tugas dalam profesi yang diembannya. Tanpa kesadaran ini, arti guru hanyalah sebuah profesi yang merupakan ladang kerja yang menghasilkan uang. Meski reward yang memadai telah didapat melalui salah satunya tunjangan berlipat dengan adanya sertifikasi, namun itu tidak akan pernah cukup sebagai alasan meningkatkan produktifitasnya dalam melasanakan tugas hakikinya. Toh tidak memungkiri bahwa masih ada, bahkan mungkin banyak guru yang telah tersertifikasi, namun dalam prakteknya ia tidak mampu menunjukkan perbedaan antara sesudah dan sebelum ia tersertifikasi dalam kinerjanya, singkatnya ia tidak memiliki kualifikasi yang sebenarnya untuk sertifikat yang disandangnya. Maka ini menjadi evalusi dan pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan dalam bidang pendidikan kedepan.
Jika mau membuka informasi dan mata kita, masih ada jiwa-jiwa pahlawan pada diri masyarakat kecil didaerah-daerah yang meski tidak mendapat timbalbalik balik dalam hal financial yang sepantasnya sebagaimana yang didapat oleh mereka yang secara administrative memiliki kualifikasi sebagai tenaga pendidik. Namun atas dasar rasa social kemanusiaan yang tinggi mereka mampu menjadi agen perubahan bagi peningkatan pendidikan orang-orang, generasi-generasi penerus yang ada disekelilingnya. Meski dengan sumberdaya yang terbatas, dengan ketulusan dapat timbul dorongan pada diri mereka untuk kreatif menciptakan media yang efektif demi menunjang keberhasilan pendidikan. Karena yang difikirkan agen-agen reformasi pendidikan seperti ini hanyalah bagaimana anak-anak yang didiknya dapat memahami apa yang disampaikan dengan mudah serta bagaimana anak didiknya menjadi anak-anak yang cerdas, sukses dan memiliki jiwa social kemanusiaan yang tinggi sehingga bisa melakukan perubahan, minimal perubahan bagi kehidupan diri dan keluarga mereka. Motivasi dan kesadaran tenaga pendidik seperti inilah yang harus ditimbulkan.  
Semua demi pemerataan mutu pendidikan nasional, merata, sama antara yang di Jawa dengan yang di Jayapura, sama antara yang ekonomi atas dengan yang ekonomi bawah. Dengan begitu akan terwujud apa yang dicita-citakan pancasila, yakni keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dibidang pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar