E-Learning & Blended Learning As
Learning Choices In Digital-Era Belong Reality Of Education Climate In
Indonesia
Review oleh: Siti Nur Ainunnajah
E-learning dan blended learning
merupakan suatu terobosan yang bisa (dan telah diterapkan sebagian sivitas
akademik) sebagai upaya yang luarbiasa bagi peningkatan kualitas pendidikan di
Indonesia terutama dalam rangka terwujudnya cara belajar siswa aktif (CBSA)
yang maksimal. Selain mendorong siswa/mahasiswa untuk ikut berperan aktif dalam
proses pembelajaran, penerapan model
e-learning dan blended learning ini juga memungkinkan siswa/mahasiswa untuk
memperoleh pengetahuan dan mengembangkan keterampilan kognitif dan manual,
kreatifitas, dan logika berfikir berdasarkan aktifitas yang dilakukan, sehingga
mereka akan terbiasa untuk memecahkan masalah mereka sendiri yang tentunya akan
sangat aplikatif bagi kehidupan peserta didik sehari-hari.
Selama ini seringkali ditemukan
hambatan dalam proses pembelajaran konvensional di kelas yang disebabkan oleh
metode dan model pembelajaran yang monoton dan kurang interaktif, sehingga
menimbulkan kebosanan pada diri siswa sehingga berujung pada terjadinya kesulitan
belajar serta kegagalan pencapaian ketuntasan minimal yang telah ditentukan.
Karenanya pelaksanaan proses pembelajaran perlu disesuaikan dengan kepekaan
indera dan sensitifitas siswa dengan menggunakan multi media, multi metode
serta multi model pembelajaran. Maka e-learning dan blended learning dapat
menjadi salah satu jawaban dan solusi untuk memperkaya skill serta meningkatkan
performa pendidik maupun peserta didik dalam proses pembelajaran.
Namun harus diakui tidak ada media,
metode, dan model pembelajaran yang sempurna. Masing-masing memiliki kelebihan
dan kekurang pada situasi dan kondisi tertentu, begitu pula e-learning. Untuk
menjawab keterbatasan waktu, ruang, tenaga dan sumber belajar, e-learning bisa
menjadi solusi yang dapat diandalkan karena semua bisa dilakukan melalui
jaringan internet didunia maya kapanpun dan dimanapun. Tapi tak ada media dan
model pembelajaran satupun yang dapat menggantikan posisi guru 100%, maka
kehadiran atau proses tatap muka dengan guru sangat diperlukan. Memang dalam
e-learning tidak dikatakan bahwa proses pembelajaran tidak ada keikutsertaan
guru, dengan perkembangan teknologi supercanggih seperti saat ini apapun bisa
dilakukan dengan mudah, forum diskusi bisa dilakukan secara langsung dengan
video interaktif, 3G salah satunya. Ya dalam hal pembelajaran dimana guru
sebagai fasilitator hal tersebut bisa dilakukan tanpa tatap muka langsung.
Namun jika berbicara bahwa guru sebagai pendidik, maka pertemuan didunia maya
sangatlah tidak cukup. Pendidik harus berkomunikasi dan mengetahui kondisi
perseta didiknya secara langsung dalam hal pembentukan karakter, kepribadian,
EQ maupun SQ. Terlebih lagi bahwa salah satu kelemahan model pembelajaran
e-learning adalah bisa menimbulkan perasaan sendiri atau kesepian sehingga si
pembelajar akan cepat bosan atau tidak mampu bertahan cukup lama dalam proses
belajar.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan
orang lain entah itu teman, orang tua, tentor terutama pendidik atau guru
sebagai sharing partner dan motivation resource, merupakan bagian
penting dalam menunjang keberhasilan proses belajar dan pembelajaran seseorang.
Sebab keberhasilan belajar sangat dipengaruhi perilaku, karakter atau pola
belajar seseorang. Ada yang cenderung lebih mudah menyerap serta memahami
materi belajar melalui indera pengelihatannya (visual), ada yang cenderung
lebih mudah dengan mendengarkan (audio), ada yang lebih mudah dengan bergerak
atau mengaplikasikannya melalui gerakan (kinestetik) atau bahkan perpaduan dari
ketiganya. Begitu pula dengan suasana belajar, ada yang lebih suka belajar
disuasana sepi atau sendiri tapi ada juga yang sebaliknya. Tapi apa dan
bagaimanapun karakter atau pola belajar seseorang, ia membutuhkan tempat untuk
mengkroscek kebenaran apa yang sedang dipelajarinya, dan disinilah peran orang
lain khususnya guru.
Maka sangatlah benar bahwa paradigma
yang harus digunakan dalam mengembangkan e-learning adalah enrichment
(pengayaan) bukan replacement (pengganti). Kualitas proses pembelajaran dikelas
tidak akan berkurang melainkan akan semakin meningkat apabila program
e-learning ini dilakukan secara maksimal sebagaimana mestinya. Karena setajinya
e-learning merupakan penunjang untuk meningkatkan kemantapan pengetahuan awal
siswa maupun guru, sehingga forum
belajar dikelas akan lebih berkualitas, efektif dan efisien. Meskipun ada
instansi pendidikan yang prosentase proses pembelajaran yang dilakukan lebih
banyak online, e-learning dibandingkan tatap muka langsung. Tentu kualitas
output peserta didiknyalah yang nantinya akan menjawab baik atau tidaknya
pilihan program pendidikan yang diambil.
Selain itu, karena dalam mengaplikasikan
e-learning dan blended learning dibutuhkan sumberdaya yang lebih, mulai dari
kemampuan penguasaan TIK (teknologi informasi dan komunikasi) dari pendidik
maupun peserta didik, perangkat pendukung untuk melaksanakan e-learing mulai
dari PC dan jaringan internet dan
sebagainya. Intinya dibutuhkan sumberdaya financial yang cukup besar. Maka yang
menjadi pernyataan adalah apakah masyarakat mampu dan apakah pemerintah
berinisiatif, mau dan mampu memberikan fasilitas yang memadai. Karena ketika membicarakan
peningkatan mutu pendidikan, kita harus membicarakan mutu pendidikan seluruh
masyarakat dari Sabang sampai Merauke bukan masyarakat Jawa saja. Oleh karena
itu, juga harus diperhatikan apakah pendidikan serta pembangunan diseluruh
wilayah negeri ini sudah merata atau belum, apakah infrastruktur dan jaringan
komunikasi sudah merata. Bahkan masih ada pelajar yang pergi dan pulang sekolah
menggunakan rakit, berjalan dan menyebrangi sungai yang tak berjembatan
sehingga harus basah-basahan. Apalagi anak-anak yang hidup di daerah
perbatasan, dan itulah yang terjadi di Indonesia.
Bukan berarti e-learning tidak cocok
dan tidak bisa diterapkan, sangat bisa karena ini merupakan buah pemikiran yang
sangat bagus bagi kemudahan dan peningkatan kualitas belajar siswa serta
menjawab tantangan perkembangan zaman, dan itu telah terbukti bermanfaat oleh
sebagian siswa di instansi pendidikan di
kota-kota besar di pulau Jawa. Tapi disamping itu, selain model pembelajaran
yang bertekhnologi tinggi dan modern, kita juga harus mampu menciptakan
media-media, metode-metode dan model-model pembelajaran lain yang kreatif dan
inofatif sekaligus hemat biaya yang bisa diterapkan bagi mereka yang tidak
mampu menikmati fasilitas pendidikan yang canggih. Pemerintah dapat memberilkan
penyuluahan serta pelatihan bagi para tenaga pendidik untuk meningkatkan
motifasi, kreativitas serta daya inovasi pendidik guna menciptakan pembelajaran
yang efektif. Tentu hal ini tidak akan terwujud apabila tidak timbul kesadaran
dari dalam diri tenaga pendidik akan tugas mulia mereka untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Kesadaran inilah yang menjadi motor terbesar yang
menggerakkan tenaga pendidik untuk secara tulus ikhlas menjalankan tugas dalam
profesi yang diembannya. Tanpa kesadaran ini, arti guru hanyalah sebuah profesi
yang merupakan ladang kerja yang menghasilkan uang. Meski reward yang memadai
telah didapat melalui salah satunya tunjangan berlipat dengan adanya
sertifikasi, namun itu tidak akan pernah cukup sebagai alasan meningkatkan
produktifitasnya dalam melasanakan tugas hakikinya. Toh tidak memungkiri bahwa masih
ada, bahkan mungkin banyak guru yang telah tersertifikasi, namun dalam
prakteknya ia tidak mampu menunjukkan perbedaan antara sesudah dan sebelum ia
tersertifikasi dalam kinerjanya, singkatnya ia tidak memiliki kualifikasi yang
sebenarnya untuk sertifikat yang disandangnya. Maka ini menjadi evalusi dan
pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan dalam bidang pendidikan
kedepan.
Jika mau membuka informasi dan mata
kita, masih ada jiwa-jiwa pahlawan pada diri masyarakat kecil didaerah-daerah
yang meski tidak mendapat timbalbalik balik dalam hal financial yang
sepantasnya sebagaimana yang didapat oleh mereka yang secara administrative
memiliki kualifikasi sebagai tenaga pendidik. Namun atas dasar rasa social
kemanusiaan yang tinggi mereka mampu menjadi agen perubahan bagi peningkatan
pendidikan orang-orang, generasi-generasi penerus yang ada disekelilingnya.
Meski dengan sumberdaya yang terbatas, dengan ketulusan dapat timbul dorongan
pada diri mereka untuk kreatif menciptakan media yang efektif demi menunjang
keberhasilan pendidikan. Karena yang difikirkan agen-agen reformasi pendidikan
seperti ini hanyalah bagaimana anak-anak yang didiknya dapat memahami apa yang
disampaikan dengan mudah serta bagaimana anak didiknya menjadi anak-anak yang
cerdas, sukses dan memiliki jiwa social kemanusiaan yang tinggi sehingga bisa
melakukan perubahan, minimal perubahan bagi kehidupan diri dan keluarga mereka.
Motivasi dan kesadaran tenaga pendidik seperti inilah yang harus ditimbulkan.
Semua demi pemerataan mutu pendidikan
nasional, merata, sama antara yang di Jawa dengan yang di Jayapura, sama antara
yang ekonomi atas dengan yang ekonomi bawah. Dengan begitu akan terwujud apa
yang dicita-citakan pancasila, yakni keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia dibidang pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar