Rabu, 04 Mei 2016

Catatan yang berserakan

Sahabat adalah ....
seseorang yang membantumu menjadi baik,
seseorang yang membuat hatimu tenang,
seseorang yang menggetarkan hatimu,
walau hanya mengingat namanya

Sahabat adalah ....
seseorang yang membuat matamu tiba-tiba berkaca,
ketika kau mengingat wajahnya,
seseorang yang membuatmu bahagia,
walau hanya mengingat suaranya
dan membuatmu menangis ketika merindukannya

Sahabat adalah ....
ia yang kau sebut dalam doa
agar kebaikan selalu menyertainya
meski ia tak akan selamanya selalu ada
seperti saat-saat persahabatan itu mulai tumbuh dan berbunga

***
Saya salin dan ketik kembali catatan itu dari salah satu buku catatan. Tapi tak ditemui catatan waktu, kapan penulisannya. Berusaha mengingat-ingat, mengapa tulisan itu ada, karena hampir semua coretan dan catatan yang saya buat pasti ada sebab atau seseorang yang menjadi idenya. Sambil mengetik terus berusaha mengingat, selang beberapa saat dan akhirnya sebab itu ditemukan. Yah, karena ada air mata setelah membaca ulang kronologi fb dan menemukan postingan lama ini

Senin, 02 Mei 2016

Titipkan pesan kepada hatimu

Wahai jiwa jiwa yang menggetarkan hati
tetaplah disana
tetaplah berpijak ditempatmu,
jangan beranjak,
hingga waktu yang dihalalkan untukmu tiba,
hadir dan membukakan pintu gerbang
yang bertabur keindahan bagimu...

Wahai jiwa jiwa yang menenangkan hati
tetaplah disana,
tetap teguhlah dipangkalmu,
jangan beranjak,
hingga raga itu datang
dengan jalan yang benar kehadapanmu

Rindu Sumba

Tak lagi ku nikmati sepimu
Yang membuai dan mengiringi kecamuk dadaku
Akan jiwa-jiwa yang terpisah ruang, jarak dan waktu

Tak lagi ku dengar lantunan sendu tuanmu
Yang menggores dan menoreh warna dihidupku
Lewat gumul berbalut canda sepanjang waktu

Tak lagi kurasakan kesejukan pagimu
Lewat mata air yang setia membasuh tubuhku
Di balik tirai pepohonan di lereng berbatu

Tak lagi ku saksikan gamal-gamal merayu
Dengan bunga-gunga merah muda yang bersemi indah
Di musim panasmu yang terik

Tak lagi ku pandang langit malammu
Yang bertabur jutaan bintang-bintang
Bak permata yang memancarkan pesona dikegelapan

Tak lagi ku rasakan desiran anginmu
Yang menjaga dan memeluk ragaku
Disepanjang siang dan malamku

Tak lagi ku temukan rembulan bersinar terang
Yang nampak begitu dekat
Hingga terasa jemari tanganku mampu meraihmu
Sungguh cintaku membuat hatiku tercekik rindu
Rinduku yang membuncah kepadamu
Tanah Mahu, Bumi Marapu, Matawai Amahu pada Njara Hamu



Surabaya, 3 Mei 2016
Siti Nur Ainunnajah

Singgah dirumah salah satu siswa kelas VII SMPN Satap Patamawai "Frans" dalam perjalanan menuju air terjun Patamawai. Mayoritas rumah penduduk yang masih berada dikampung-kampung didataran tinggi masih berupa rumah panggung kayu. Sebagian beratap seng, sebagian beratap jerami, terutama rumah-rumah ladang.


 Rumah Bapak Dusun Uma Gudang desa Patamawai. Ketika ada warga yang meninggal, upacara penguburan dilakukan secara besar-besaran. Seluruh penduduk memakai pakaian adat setempat.
Jalan menuju kampung Uma Gudang disore hari

Langit dini hari di atas bukit Patamawai

Sabtu sehat, waktunya kerja bakti dan pengembangan diri siswa

Pohon gamal yang mulai berbunga bak sakura memasuki musim kemarau
 

Jumat, 29 April 2016

Belajar Nulis


Ketika Ku Menemukanmu
 
Mungkin aku salah satu tipe orang yang tidak mudah jatuh cinta. Diusia yang memasuki 2 dasawarsa ini belum pernah sekalipun aku merasa jatuh cinta kepada seorang pria, paling-paling hanya rasa mengagumi, lebih dari itu tidak ada dan belum pernah. Mungkin itu sebuah pengakuan yang naïf dan munafik, tapi itulah yang sesungguhnya. Bukan aku pemilih atau perfeksionis tapi aku hanya ingin menjadi cinta pertama dan terakhir bagi lelaki yang nantinya aku cintai, untuk itu aku juga berusaha menjadikan lelaki itu cinta pertama dan terakhir yang pernah tumbuh dan bersemi dihatiku, walau aku belum tahu siapa dia sampai nanti Tuhan mempertemukan aku dengannya. Aku percaya bahwa perempuan yang baik hanya untuk lelaki yang baik begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu jika ingin mendapatkan yang baik, maka terlebih dahulu kita harus berusaha menjadi pribadi yang baik. Memang terdengar terlalu idealis, tapi  itu adalah satu harapan, mimpi dan cita-cita yang telah menjadi do’aku akan sosok lelaki yang ku harap Dia pilihkan untukku. Orang lain boleh tertawa mendengarnya, tapi itu merupakan hak asasi yang setiap orang boleh memilikinya. Prinsip itu selalu aku jaga sampai suatu ketika aku merasakan sesuatu yang berbeda.
Tepat enam bulan yang lalu, ketika aku mengikuti kuliah umum akuntansi yang diadakan jurusan pendidikan ekonomi di auditorium fakultas ekonomi, tiba-tiba Fatia mengatakan sesuai yang aneh. Awalnya disela-sela sesi tanyajawab Fatia nyeletuk bertanya, “Al, Bu Wulan—asdos kaprodi akuntansi yang menjadi moderator dalam kuliah umum yang sedang kami ikuti— itu  sudah punya suami?”
“Eh belum Ti, dia belum menikah, emang kenapa kok tiba-tiba tanya gitu?” jawabku.
“nggak Cuma pengen tanya saja, ku kira sudah bersuami, kenapa belum menikah ya?”
“Eh kamu ni ya kok tanya aku, ya mungkin belum ketemu jodohnya Ti, makanya kamu carikan lho, kamu kan punya banyak kakak sepupu, masih ada yang available kan?” sahutku sekenenya sembari  tertawa ringan, aku merasa lucu mendengar dia menanyakan hal itu.  
“hehehe iya ya nanti biar aku buka biro jodoh sekalian”
“kamu ni ada ada ja”
“Oh tapi mas sepupuku yang available itu cuma tinggal satu dan sukanya sama kamu Al” ucap Tia tiba-tiba.
 “Hehm apa Ti?”, sahutku sambil tertawa, “Bercandamu luucu banget”
“Aku serius!” jawabnya “Kamu masih ingat aku pernah cerita ke kamu tentang anak budhe ku yang pernah ngajak aku jalan-jalan ke Batu dulu”,
Aku hanya mengernyitkan dahi sambil mengingat-ingat
“Aku juga pernah cerita ke kamu kalo mas ku itu pemuda yang baik dan pandai, kata orang disekitarnya juga santun, meski dari keluarga yang sangat sederhana bahkan kurang tapi ia bekerja keras untuk mengubah kondisi keluarga dan dirinya, siang hari ia bekerja dikecamatan, sore hari mengajar komputer di SMP, malam kuliah, tiga kali seminggu mengajar ngaji anak-anak didesanya. Ia bersama kakaknya bahu membahu membantu ekonomi keluarga hingga mampu merenofasi rumahnya menjadi lebih layak,  rumah yang dulunya beralaskan tanah kini sudah berubin, dinding yang dulunya kayu kini menjadi dinding semen yang permanen. Karena pribadinya yang baik membuat beberapa pemuka agama didaerah rumahnya pernah memintanya untuk menjadi menantu dan suami bagi putrinya. Tapi ia enggan, kamu masih ingat?”
“Ehm..” aku merapatkan bibir sambil memberikan anggukan kecil,
“Masku itu—kebiasaan Fatia memanggil kakak sepupunya— suka sama kamu” tambahnya dengan wajah yang serius.
Deggh jantungku tiba-tiba berdetak begitu keras tanpa komando saat telingaku mendengar kalimat itu, aneh. Memang Tia suka sekali menceritakan keluarganya dan salah satunya adalah mas sepupunya itu, bahkan tidak hanya sekali tapi berkali-kali ia menceritakan sosok yang menurutnya luarbiasa itu, dan tidak ku pungkiri setiap kali Tia bercerita tentang kehidupan sepupunya, kepribadian tokoh utama cerita itu diam-diam selalu membuatku kagum meski sosoknya tak nyata bagiku. Tapi aku tak pernah menyangka akan seperti ini. Aduh perasaan tadi sedang bercanda deh, kok malah begini. Aku tertegun sesaat, apa yang aku dengar barusan? fikirku. Bercanda. Apa sih?
Aku masih tidak percaya dan tak ingin membuat hatiku percaya lalu membuatku terlena “udah deh Ti jangan bercanda, maksudnya apa?, nggak mungkin banget” ucapku masih dengan tawa.
“beneran, aku nggak bercanda, Masku suka sama kamu”
Aku sangat mengenal Fatia dan tahu betul bagaimana mimik wajahnya ketika serius atau tidak, dan yang pasti kini dia sedang tidak bercanda. Itu membuatku semakin bingung, tak terdengar lagi suara-suara audience yang mengajukan pertanyaan, pembicara yang memaparkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bahkan suara Bu Wulan, sang moderator yang tadi menjadi topik pembicaraanku dengan Fatia, yang berkelebat difikiranku hanya tanda tanya besar. Tanda tanya yang muncul setelah apa yang dikatakan Fatia kepadaku barusan. Bagiku ini aneh dan mustahil.
“Gimana aku percaya, menyukaiku, itu aneh, nggak mungkin lah, dia saja nggak kenal aku, ketemu nggak pernah, ngobrol apalagi, darimana bisa suka coba? Kok Bisa?” tanyaku meminta penjelasan.
“Ayahku Al yang bilang” jawab Fatia.
“Aku nggak faham Ti, maksudnya? Kok bisa ayahmu?”
“kamu tahu kan aku dekat dengan ayah, selalu cerita apapun kepadanya, termasuk siapa, bagaimana teman-temanku dan orang-orang yang pernah kutemui, tidak terkecuali kamu pastinya. Nah, ketika Mas sepupuku main kerumah, entah ngomongin apa awalnya, tapi ayahku bercerita tentang kamu padanya, entah apa saja yang diceritakan ayahku, yang jelas mulai saat itu dia tertarik kepadamu dan ingin mengenal kamu. Pernah Masku mengirim pesan singkat padaku yang bilang minta dikenalkan dengan temanku, tapi tidak secara spontan bilang siapa, aku nggak terlalu menanggapinya serius, kukira cuma iseng saja sembari tanya kabarku di Surabaya. Tapi saat aku pulang kampung, ayah bercerita perihal itu kepadaku, darisitu aku mulai faham maksud pesan yang dikirimkan Masku beberapa waktu yang lalu. Aku awalnya cukup terkejut, ternyata kepribadianmu bisa menarik hati Masku yang keren itu, karena penasaran akhirnya aku tanyakan kepadanya. Ternyata memang begitu adanya, dia ingin aku mengenalkannya kepadamu. Sebenarnya sudah lama, sejak kita masih disemester dua akhir. Tetapi aku tidak pernah berani mengatakannya kepadamu karena aku tahu bagaimana dirimu, seberapa kuat kamu berusaha menjaga prinsipmu untuk tidak pacaran walau hanya pendekatan, sebelum kamu sampai pada titik dimana kamu siap untuk naik kejenjang itu. Aku juga mengatakan hal itu kepada Masku. Namun sepertinya hal itu semakin membuat dia menyukaimu.” Ungkap Fatia kepadaku.
“hahaha… kamu nih bisa aja, kayak dongeng tau” sahutku sambil lalu
“hiiiiiiiiii kamu nih nggak percayaan banget” celoteh Fatia gemes.
“udah-udah lihat tuh kita udah ketinggalan, sakarang sudah sampai kesimpulan” ujarku mengalihkan topik pembicaraan, aku tidak ingin meneruskannya, tapi entah mengapa ada perasaan aneh yang menyusup dibenakku, entah apa dan mengapa aku tak tahu.
“Nah sudah selesai, mbak Alqi sudah bisa buka matanya sekarang” ucap Bu Mayang yang sedari tadi merias wajahku.
Aku pun perlahan membuka mata, tak ada lagi pemateri dan peserta yang mengikuti seminar akuntansi di auditorium, tak juga Fatia yang duduk disampingku menceritakan tentang sepupunya, memori itu sekejap hilang ketika ku membuka mata, kini yang nampak hanya bayangan wanita di cermin. Wanita itu berbalut kebaya berwarna cokelat dengan jilbab yang senada, ia nampak sedikit asing karena riasan diwajahnya.
“Mbak Alqi cantik sekali” imbuh Bu Mayang sambil tersenyum melihat bayanganku dari cermin.
Aku tersenyum, aku merasa asing melihat bayangan wajahku di cermin, meski setiap hari melihat wajahku dicermin, tapi hari ini sedikit berbeda, bayangan wajah yang biasanya ku jumpai disana tampak polos tanpa make-up, tapi sekarang wajah itu begitu berwarna.
“Gimana mbak, suka dengan riasannya? Terlihat natural kan, seperti yang mbak minta?” Tanya bu mayang kepadaku
“iya bu, terima kasih, tapi rasanya aneh, nggak pernah dandan seperti ini, jadi nggak percaya diri kalau dilihat orang” sahutku malu
Tok…tok…tok… kreeek, terdengar orang mengetuk pintu dan membukanya
“Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumsalam…” sahutku dan Bu Mayang hampir bersamaan sembari menoleh kearah pintu,
“Wah Al kamu cantik sekali, pangling” seru Fatia.
“Masak sih…” jawabku sekenanya
“Pasti nanti dia nggak bisa berkedip dech melihat kamu” sahut Tia menggodaku.
“Kamu ini……” sahutku sembari menyubit lengannya “aku deg-degan Fat, gugup”
“Tenangkan dirimu Al, ucap bismillah”
Dalam hati ku ucapkan apa yang dimintanya barusan. Perasaanku lega, tapi itu hanya sekejap, jantungku berdegup semakin cepat ketika ibu masuk dan mengatakan bahwa dia sudah datang. Melihatku gugup ibu langsung memeluk dan menenangkanku sejenak lalu keluar lagi menemui tetamu yang datang. Kini aku hanya ditemani Fatia didalam kamar. Tak ada suara, kami hening dalam keharuan. Tiba-tiba air itu jatuh begitu saja dari mataku, menetes ditelapak tanganku. Seketika pandanganku dipenuhi kilatan putih,  tubuhku seolah ditarik oleh lorong waktu yang membawaku ke memori beberapa bulan lalu.
“Fat akhir pekan ini aku mau pulang ke Blitar, ikut yuk, biar kamu tahu, ntar disana aku ajak keliling” ajak Fatia.
“emh kayaknya seru, aku mau banget tapi aku izin ibuku dulu ya”, jawabku antusias.
“Ok ku tunggu kabarnya” sahutnya
Jumat pekan itu, seusai kuliah aku tidak langsung pulang, aku dan Fatia mampir ke kantin masjid kampus untuk makan siang sambil menunggu waktu sholat dhuhur. Aku telah mendapatkan izin dari ibuku untuk ikut Fatia pulang kampung ke Blitar. Setelah makan siang dan menunaikan sholat duhur di masjid Baiturrahman I kami kembali ke kos Fatia untuk mengambil beberapa barang yang akan kami bawa, tak perlu waktu lama kami langsung tancap gas mengendarai motor menuju Blitar. Kami mengambil jalur alternatif Jombang-Blitar agar lebih dekat. Hampir 4 jam kami habiskan waktu diperjalanan dengan ditemani pemandangan sawah-sawah yang menghijau.  Kami sampai di rumah Fatia setelah adzan maghrib. Ternyata ibu dan adik Fatia telah menunggu kami, mereka menyambut kami dengan senyum ceria. Aku langsung bersalaman dengan ibu Fatia serta adiknya. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan ibunya, tapi seolah beliau sudah mengenalku cukup lama. Mungkin Fatia sering bercerita tentangku kepada ibunya. Namun hal itu membuatku nyaman dan tidak canggung.
“Mandi dulu nduk, biar seger, pasti capek perjalanan jauh”, ucap ibu Tia kepadaku.
“Enggeh Bu”, jawabku. Setelah menaruh barang di kamar Tia aku langsung bergegas mandi, menghilangkan debu dan bau asap yang sedari tadi menempel ditubuhku. Kami bergantian antri mandi, aku mendapat giliran pertama. Setelah selesai aku langsung kembali kekamar dan bergegas sholat maghrib yang waktunya sudah hampir lewat.
“Al, sudah selesai sholat?”, terdengar suara ibu Fatia memanggilku. Suara beliau berasal dari ruang tamu.
“Sudah Bu”, jawabku.
“Sini Nduk” pinta beliau.
“Enggeh, sekedap Bu”, sahutku. Aku pun langsung merapikan mukenah yang sedari tadi belum ku lepas dan bergegas ke ruang tamu menemui beliau. Ternyata sudah tersaji cangkir-cangkir berisi minuman panas dan sepiring pisang goreng diatas meja. Canda, adik Fatia duduk disamping ibu.
“Duduk sini, diminum tehnya biar perutnya hangat”, pinta ibu. Tak lama kemudian Fatia muncul dari belakang dan ikut bergabung dengan kami.
“Capek nggak Al?”, Tanya Fatia kepaku.
“Lumayan”, jawabku sambil tersenyum.
“Mau jalan-jalan ke alun-alun nggak?”, ajaknya kepadaku.
“Eeeh besok saja Ti, capek habis motoran jauh gitu, malam ini istirahat dulu dirumah, besok baru jalan-jalan. Alqi juga pasti capek, ya nggak Al?”, sahut ibu mendahuluiku.
“Hehe… enggeh buk”, jawabku sambil tersenyum.
“Sudah diminum ini tehnya, habis itu makan, ibu tadi sudah masak pepes pindang pakek mangga muda sama sayur asem”.
“Oke deh, siiiip. Ayo Al kita makan, besok saja aku ajak kamu keliling-keliling”, ucap Fatia sambil melempar senyum kepadaku.
Hehm aku tersenyum dan sedikit kaget, itu kan menu kesukaanku, pasti Tia sengaja bilang ke ibu untuk masak itu. Aku serasa jadi tamu istimewa. Aku diterima dengan baik disini. Sebelum makan aku sempat menanyakan keberadaan ayah Tia karena sedari kami datang ayahnya belum kelihatan. Ibu bilang kalau ayahnya Tia ada perlu dengan temannya, mungkin baru pulang besok.
 ***
Hari ini seperti janji Fatia kemarin malam, dia akan membawaku keliling-keliling. Entah kemana saja. Selesai mandi dan sarapan aku dan Fatia sudah bersiap, tak lupa kami memanaskan motor. Ternyata tidak hanya kami berdua, Canda juga mau ikut serta. Jadi kami jalan bertiga. Kami berangkat sekitar jam setengah sepuluh pagi. Saat kami pamit, ibu Fatia memberikan pesan untuk menyempatkan mampir kerumah seorang bibinya dan dia mengiyakannya. Hari ini Fatia akan menjadi tour gide ku seharian, dan aku adalah turis yang belum mengenal daerah wisata yang akan dikunjungi. Jadi hari ini aku harus pasrah dibawa kemana saja.
Tujuan pertama kami adalah alun-alun kota Blitar. Hanya butuh waktu 15 menit dari rumah Fatia untuk sampai di alun-alun. Ada yang menyewakan otoped di dalam alun-alun. Terlihat beberapa anak-anak meluncur kesana-kemari menggunakan otoped sewaan itu, hal ini membuat Canda merengek minta naik juga. Kami pun menurutinya. Sambil menunggu Canda bermain otoped, aku dan Fatia duduk dibawah pohon besar sambil ngobrol.
“Al habis ini kita ke makam dan museum Soekarno ya?”, ajak Fatia
“Oke, aku manut saja, pasti aku mau saja” jawabku sekenanya.
“Tapi sebelum kesana, nanti kita mampir bentar ke masjid itu ya, aku pengen lihat dalamnya”, imbuhku sambil menunjuk masjid agung Blitar yang berada disamping kiri alun-alun.
“Tentu”, jawab Tia pasti.
Ternyata masjid agung Blitar tidak sebesar yang nampak dari luar. Namun designnya cukup menarik dengan sentuhan interior pintu-pintu kayu tempo dulu. Tak lama kami melihat-lihat dalam masjid. Kami langsung meluncur kearah timur alun-alun menuju makam Bung Karno yang juga searea dengan museum Sukarno. Tentu tempat ini adalah tempat yang tidak boleh terlewatkan kalau kita berkunjung ke kota kelahiran Bapak Proklamator negeri ini. Di tanah inilah tokoh penting negeri ini lahir dan disemayamkan. Aku sangat bersemangat sekali ketika sampai di parkiran, aku nggak sabar ingin masuk dan melihat isi didalamnya. Terlihat dari luar arsitektur bangunan museum Sukarno sangat modern dan artistik, tampak seperti piramida kaca. Saat memasuki pintu gerbang kami harus langsung di hadapkan dengan gapura mirip gerbang masuk candi. Tingginya mungkin sekitar 4 atau 5 meter dengan dilapisi granit berwarna abu-abu gelap kehitaman. Banyak orang lalu lalang keluar masuk melewatinya. Didalam sanalah makan Bung Karno berada. Kami putuskan untuk ke museum dulu, kami menuruni anak tangga yang berada 5 meter di hadapan gapura makam Bung Karno. Terdapat kolam air mancur di tengah- tengah areal yang kita lewati menuju museum. Sebelah kirinya berdiri kokoh dinding berukir gambar-gambar Soekarno dan peta Indonesia serta peristiwa-peristiwa sebelum kemerdekaan. Ada sebuah ukiran besar yang menarik perhatianku. Sebuah ukiran Bung Karno yang sedang bersimpu dilutut ibundanya yang sedang duduk di kursi goyang seolah beliau sedang memohon doa dan restu. Nampak sang ibu membelai kepala putranya yang bersongkok itu dengan mata yang sayu disertai senyuman penuh kasih sayang. Ukiran tersebut seolah menunjukkan betapa pemimpin pertama negeri ini begitu hormat dan menyayangi ibundanya. Aku sempatkan berfoto didepan dinding berukiran tersebut. Kami langsung berjalan menuju bangunan kaca transparan yang begitu artistik dan modern. Bangunan itu terbagi menjadi dua bagian kiri dan kanan, masing masing terdiri dari dua lantai yang dihubungkan dengan jembatan tangga yang berada di lantai dua. Sedangkan dibawahnya terpisah, terdapat sebuah patung Bung Karno duduk yang berwarna hitam. Bangunan sebelah kanan adalah museum serta galeri, sedangkan bangunan yang sebelah kiri adalah perpustakaan. Kami benar-benar mengelili seluruh sisi dan sudut bangunan tersebut, banyak sekali wawasan dan informasi yang kami peroleh dari tempat ini terutama tentang sosok Soekarno, termasuk wanita-wanita yang pernah mendampingi beliau. Tak terasa hampir 3 jam kami berada di dalam bangunan indah ini. Ketika kami keluar hari sudah sore, kami memutuskan untuk pulang.
Tapi di tengah perjalanan Fatia mengambil jalan yang berbeda, sepertinya ini bukan jalan kembali kerumahnya.
“Al kita mampir kerumah bibiku dulu ya, tadi ibu memintaku kesana, sepertinya bibiku lagi nggak enak badan, jadi aku diminta lihat kondisinya sekalian sowan kan sudah lama juga nggak kesana, nggak apa-apa kan kita mampir dulu?”, kata Fatia kepadaku.
“Iya Ti, ndak apa, lagian kalau aku ndak mau, masak aku pulang jalan kaki?”, jawabku sambil bercanda.
“Hehehe… iya toh, kalaupun kamu nggak mau ya pasti tetep ikut kan aku yang bonceng”, sahutnya.
Tak lama kami melajukan motor akhirnya berhenti disebuah rumah. Rumah itu tidak terlalu besar tapi tidak kecil juga, namun memiliki halaman yang asri, ada banyak tanaman bunga didepannya. Kamipun memarkir motor dan mengucap salam. Pintu rumah itu terbuka menandakan ada orang didalamnya.  Tak perlu kami mengucap salam dua kali si empunya rumah menjawab salam tersebut. Tampak seorang wanita paruh baya berjalan keluar, mungkin usianya sekitar 50 tahunan, tapi garis kecantikan masih nampak di wajahnya. Ini pasti bibinya Fatia.
“Oalah, keponakanku yang cantik sendiri toh, sini-sini masuk?”, sapa wanita itu. Kami pun langsung cium tangan.
“Enggeh Bu dhe, Bu dhe apa kabar? Katanya nggak enak badan? Makanya ibu tadi nyuruh mampir.”, kata Fatia. Kami pun dipersilahkan duduk.
“Oalah lawong cuma masuk angin kok nduk, ndak apa-apa, loh ini siapa Ti? Temen kuliahnya ta?” Tanya Bu dhe nya Tia sambil tersenyum kepadaku.
“Enggeh Bu dhe, namanya Alqi, teman kuliah saya”, ucap Tia memperkenalkan aku. Aku mengulur senyum kepada beliau.
“Rumahnya dimana nduk?” Tanya beliau kepadaku
“Sidoarjo Bu”, jawabku.
“Oalah jauh-jauh dari Sidoarjo main kesini, kapan sampai? Naik apa?” tanyanya beruntun.
“Kemaren Bu, naik motor”
“Subhanallah, perempuan-perempuan motoran berdua dari Surabaya sana? La kok kuat? Nggak takut?”
“Hehmm, ndak bu” jawabku sambil tersenyum.
“Oalah nduk-nduk, tunggu sebentar ya bu dhe buatin minum dulu”
“Pun Bu dhe, ndak usah repot-repot”, ucapku hampir bersamaan dengan Fatia.
“Ndak, repot apa, lawong cuma minum saja kok”, sahut Bu Dhe Tia sambil berlalu ke dapur.
“Mas Arga kemana Bu dhe kok nggak kelihatan?” tanya Tia sambil berteriak agar Bu dhenya dibelakang kedengaran.
“Keluar itu tadi, ndak tahu kemana, coba aja di telepon” jawab Bu dhe dari dalam. Terjadilah percakapan antara mereka dari ruang tamu dan dapur hingga akhirnya Budhe keluar membawa nampan minuman untuk kami. Percakapan merekapun terus berlanjut, entah siapa dan tentang apa yang diobrolkan, aku hanya mendengarkan dan sesekali tersenyum kepada Bu dhenya ketika beliau melempar pandangan kepadaku.
Aku melihat jam tanganku menunjukkan pukul setengah empat, dan kami belum sholat. Akhirnya aku numpang sholat ashar. Tia sedang berhalangan jadi dia tidak sholat. Aku minta dia pergi sama-sama tapi dia meminta Canda mengantarku dan kekamar mandi dulu. Dia masih terlibat obrolan dengan Bu dhenya. Ya sudah akhirnya aku minta ijin kebelakang di antar Canda.
“Lewat sini Kak”, ucap Canda memanduku
“Disini kah?”, tanyaku  tempat wudhu kepada Canda
“Iya, nti tempat sholatnya disitu ya kak?”, sambungnya menunjukkan musholah kepadaku.
“Oke makasih cantik…” ucapku tersenyum kepadanya. Akupun bergegas ambil wudhu dan sholat ashar di tempat yang ditunjukkan Canda. Canda adalah adik semata wayang Tia, dia baru kelas 1 SD, usianya terpaut jauh sekali dengan Tia, 14 tahun. Tia baru mempunyai adik ketika dia duduk di kelas 2 SMP. Dia mirip sekali dengan Tia, juga sama ceriwisnya kayak Tia. Canda setia menungguiku sampai selesai sholat. Dia duduk tepat di belakangku ketika aku selesai salam.
“Kak, tunggu ya Canda mau pipis dulu”, ucap Canda kepadaku.
“Iya, Kakak tunggu, pipis gih”, jawabku sambil merapikan mukenah. Ada jendela kaca dekat pintu samping kamar mandi, akupun berkaca merapikan kerudungku sembari menunggu Canda didepan jendela tersebut. Tiba-tiba samar-samar terlihat seorang lelaki dari luar lewat hendak memasuki pintu tersebut sambil tersenyum melihat apa yang kulakukan. Aku kaget. Ya ampuun betapa malunya aku. Asyik bercermin ternyata ada orang yang lihat, lelaki pula. Sontak aku langsung berbalik membelakangi kaca itu menyembunyikan wajah maluku. Tapi lelaki itu sudah membuka pintu dan masuk, bersamaan dengan Canda keluar dari kamar mandi.
“Eh Mas Arga, Mas dari mana?”, ucap Canda menyapa lelaki itu, syukurlah mungkin sapaan Canda bisa mengalihkan rasa maluku.
“Loh Canda, sama siapa kamu kesini?, Tanyanya kepada Canda masih sambil tersenyum.
“Sama mbak Tia dan Kak Alqi”, jawab Canda sambil menunjuk kearahku.
Aku berusaha tersenyum wajar seraya menyembunyikan rasa malu. Dia juga tersenyum.
“Oh, temannya Tia ya Mbak?” tanyanya dengan sopan kepadaku.
“Iya Mas”, jawabku singkat
“Dari mana?”, lanjutnya bertanya masih dengan senyuman yang sama.
“Sidoarjo” jawabku tertunduk malu
“Permisi Mas, saya kedepan dulu, Canda masih mau sama-sama dengan Masnya ya, kakak ke depan dulu ya” imbuhku menghindari dialog yang lebih panjang.
“Oh iya mbak, silahkan, iya biar Canda sama saya”, ucapnya mempersilahkan, dan sekali lagi masih dengan senyum yang sama.
Aku pun kembali ke ruang tamu dan meninggalkan mereka. Sepertinya aku pernah melihat lelaki itu, iya, lelaki yang di panggil Canda “Mas Arga” itu, tapi dimana ya, entahlah. Fikirku sambil berjalan kearah ruang tamu.
 “Sudah selesai Al?”, Tanya Tia
“Sudah”
“Candanya kemana?”
“Masih dibelakang sama Mas kamu”
“Mas Arga?” Tanyanya antusias
“Iya sepertinya Canda tadi panggil dia Mas Arga gitu”
“Oh kamu tadi ketemu dibelakang berarti? Eh tunggu bentar ya aku mau temui dia dulu” tanyanya sambil berlalu ke belakang meninggalkanku di ruang tamu sendiri tanpa menunggu jawabanku. Saat aku berada di ruang tamu itu bibinya Tia sudah ndak ada entah kemana. Jadilah aku duduk termenung sendiri, pandanganku menyapu isi ruangan mengamati detailnya. Mataku berhenti pada sebuah lemari kaca di sudut ruangan, lemari itu dipenuhi buku-buku. Aku berdiri dan melangkah mendekatinya dan  mulai mengamati buku-buku didalamnya. Terdapat buku-buku tentang komputer, kamus, manajemen, motivasi, novel dan kitab-kitab fiqih. Hanya mengamatinya saja, aku tak berani membuka dan mengambilnya. Meski aku ingin. Pasti salah satu penghuni rumah ini ada yang hobi baca buku dan ini adalah koleksi miliknya.
“Itu semua buku-bukunya Arga nduk, putera bungsu Ibu”, celetuk suara dari belakangku, ternyata bibinya Fatia. Ia berjalan dari arah luar entah dari mana.
“Eh iya Bu, Ibu dari mana?” tanyaku.
“Dari rumah sebelah, kamu makan mangga nduk? Ini tadi dikasih sekantong sama tetangga sebelah, kemaren habis ngunduh katanya.”
“Enggeh bu, makasih, sekedap”
“Ibu kupasin ya”
“Eh ndak usah bu, biar saya saja yang kupas sendiri”, aku pun duduk menghampiri bibinya Fatia dan mendahuluinya mengupas mangga.
“Aku juga mau Al, kupasin buat aku juga ya” suara Fatia yang tiba-tiba muncul dari belakang, diikuti Canda dan Mas Arga. Kami pun duduk bersama diruang tamu.
“Canda sama mas Arga juga mau Kak”, imbuh Canda ikut-ikutan sambil melirik Mas Arga. Mas Arga tersenyum mengiyakan. Pandangan kami beradu ketika aku melihat kearahnya. Risih rasanya. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh. Jantungku berdebar. Setiap aku melihat, pandangannya selalu sedang kearahku. Maka selalu langsung kualihkan pandangan ke Fatia. Diapun hanya tersenyum atau menggerakan dagunya seolah bertanya kenapa. Membuatku semakin canggung. Untuk mengalihkannya aku fokus saja mengupas mangga. Aku kupaskan untuk mereka satu persatu.
Setelah puas makan mangga kami akhirnya pamit pulang. Saat dihalaman hendak memutar motor, aku dan Fatia sempat mengamati tanaman- tanaman bunga yang ada dihalaman tersebut. Sungguh cantik. Pandanganku tertuju pada sebuah pot kecil, didalamnya tertanam bunga krisan putih yang rimbun dan sudah mulai berbunga, sontak akupun menghampiri dan memegangnya. Bagus sekali, aku suka sekali bunga krisan.
“Kamu suka itu ta nduk? Bawa saja kalau suka”, kata bibi Tia.
“Eh ndak Bu, lihat saja, bagus sekali, saya suka krisan, apalagi warna putih”, jawabku.
“Nggak pa pa Al, bawa saja kalau kamu suka, di belakang masih ada”, ucap Mas Arga tiba-tiba.
“Iya nduk bawa saja, kan sudah dapat ijin dari yang menanam” timpal Bibi Tia seperti menggoda.
Aku jadi malu, aku lihat Mas Arga, Deg, jantungku berdetak, ternyata dia juga sedang tersenyum memandangku. Aku membuang pandang ke Tia. Dia juga tersenyum. Aku pun memberikan isyarat kepadanya untuk segera memutar motor agar kita bisa segera pulang. Syukurlah dia mengerti isyarat itu. Akhirnya kami pun pulang, beserta dengan pot bunga berisi krisan putih. Dalam hati aku senang sekali mendapatkan krisan itu, meskipun aku menerimanya dengan rasa malu.
“Itu tadi Mas Arga Al” tiba- tiba Tia berkata sambil serius memacu motor maticnya.
“Iya aku tau dari tadi kalian memanggilnya Mas Arga” balasku sekenanya
“Dia Mas sepupuku yang pernah kuceritakan kepadamu, yang aku bilang suka sama kamu” ucapnya dengan serius kepadaku.
“Ha? Siapa?” tanyaku terkejut, jantungku berdegup kencang seketika mendengarnya. Entah kenapa. Kata itu keluar dari mulutku bukan untuk bertanya tapi karena terkejut. Maksudnya apa, jadi kedatangan Fatia kerumah bibinya barusan? Batinku.
“Iya Al, maaf sebelumnya, memang aku sengaja mengajakmu kesana karena bibi dan Masku yang meminta, ibuku juga tahu itu”
“Jadi sudah direncanakan sebelumnya? Aduh Ti, jahat banget kamu, aku kan malu” ucapku merintih sambil mencubit pinggangnya.
“Aduuh, iya, sorry, sorry” rengeknya kegelian.
“Maksudnya apa? Aduh aku malu sekali Ti!” jantungku berdegup kencang sepanjang jalan pulang ke rumah Tia, mendengar penjelasan Tia semakin membuatku heran, bisa-bisanya dia merencanakan hal ini. Sampai di rumah Tia aku berusaha bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Meskipun ibu Tia juga mengetahui rencana itu dan pasti ingin tahu bagaimana tanggapan bibi dan Mas Arga. Namun ibu Tia juga berusaha bersikap wajar dan tidak menanyaiku secara frontal mengenai pertemuan tadi. 
Dua minggu setelah hari itu, sepertinya hari itu hari Senin, ba’da ashar aku mendapat telepon dari istri Ustad Mursyid, guru ngajiku. Masih terngiang jelas percakapan itu.
“Assalamu’alaikum” ucapku ketika mengangkat telepon itu
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Al ini bu Nuri”, jawab suara diseberang telepon
“Enggeh Bu, bagaimana kabarnya ibu sekeluarga?”
“Alhamdulillah, baik Al, kami sehat wal’afiat”
“Alhamdulillah bu kalau begitu, ohya kalau boleh tahu ada apa, kok sampek repot repot telpon saya duluan?” tanyaku penasaran
“Ibu kamu ada Al? Ibu mau bicara dengan ibu kamu, ada perlu sedikit”
“Oh ada bu, sebentar saya kasihkan teleponnya ke ibu”
“Iya, terimakasih nduk”
“Bu ini ada telepon dari Bu Nuri, mau bicara sama ibu, ada perlu katanya” ucapku kepada ibu.
“Bu Nuri? ada apa ya?” Tanya ibu sambil menerima handphoneku, tapi aku hanya bisa menggelengkan kepala karena aku sendiri tidak tahu.
“Assalamu’alaikum”, lanjutnya menyapa Bu Nuri yang sudah menunggu telepon.
Entah apa yang dibicarakan Bu Nuri kepada ibuk, tidak terlalu lama ibu langsung menjawab salam dan menutup teleponnya.
“Nduk nanti malam pak ustad mau datang kesini, ngantar orang mau ketemu bapak katanya”
“Siapa bu? Ada apa memang?”
“Ibu juga belum tahu nduk, ibu mau kasih tahu bapak dulu ya, tolong kamu belikan kue sama melon buat suguhannya tamu nanti ya nduk”
“Enggeh Buk”
***
Tok tok tok … Tok tok tok
“Assalamualaikum” terdengar suara orang mengetuk pintu
“Wa’alaikumsalam” ibu menjawab salam itu sambil melangkah membukakan pintu.
“Oh pak Ustad, silahkan masuk, mari-mari” terdengar suara ibu mempersilahkan masuk,
“Silahkan duduk, sebentar saya panggilkan bapak dulu, pak ini pak ustad sudah datang” ucap ibu memanggil bapak sambil berjalan kebelakang memintaku untuk membuatkan minum untuk tamu.
“Enggeh buk” jawab bapak sambil jalan
“Masyaallah pak ustad, dos pundi kabaripun?”
“Alhamdulillah sehat, panjenengan pripun?”
“Alhamdulillah pak ustad, seger waras sedaya, wonten nopo pak ustad”
“Ini saya kesini selain silaturahmi sebenarnya sekalian ingin mengenalkan dan  mengantar nak Arga dan ibunya”
“Meniko keponakan pak ustad?”
“Kalau di hitung-hitung ibunya nak arga ini masih sepupu ipar istri saya, jadi nak Arga ini keponakan saya begitu”
 “Oh begitu” ucap bapak, sambil tersenyum kepada ibu dan Mas Arga
Aku keluar membawakan nampan minuman untuk tetamu, tapi aku sangat terkejut ketika memasuki ruang tamu melihat siapa yang datang bersama pak ustad, wajah mereka tidak asing dimataku, bibi dan kakak sepupunya Tia. Aku melihat dan tersenyum kepada bibi Tia, pandanganku melewati Mas Arga ketika hendak menyapa pak ustad.
“Maaf pak, kedatangan kami kesini selain silaturrahmi sebenarnya juga bermaksud ingin mengkhitbah putri bapak untuk keponakan saya ini, nak Arga”
Degh sepertinya ada bom yang meledak dijantungku ketika mendengar kalimat itu, membuatnya berdegup begitu kencang, amat kencang sampai membuatku gemetar, aku hanya tertunduk, mungkin wajahku sudah sangat merah kini, aku hanya memandangi cangkir – cangkir yang harus ku suguhkan kepada tamu. Aku berusaha tenang, tapi kegugupanku membuat cangkir-cangkir itu berbunyi karena tanganku gemetar, dan sepertinya semua orang diruangan itu menyadarinya.
“Pelan-pelan nduk” ucap bapak sambil mengelus kepalaku
“Enggeh pak” ucapku dengan suara bergetar.
Tak sadar air mataku benar-benar telah membasahi telapak tanganku mengingat kenangan itu.
“Loh Al, jangan nangis, nanti make up nya rusak” kata Fatia sambil mengambil tissue untukku. Aku baru sadar bahwa sedari tadi air mataku terus mengalir.
“Aku juga nggak ingin nangis Ti, tapi nggak tahu kenapa airmataku keluar terus” ucapku sambil berusaha tersenyum untuk mengalihkan rasa gugupku.
“Tenang, istighfar, bismillah, kurang beberapa menit lagi, akadnya sudah hampir dimulai”
Terdengar Ustad Malik mengucapkan salam dan bismillah, tanda bahwa acara dimulai, pertama beliau meminta kepada semua hadirin untuk mengucap istighfar, mensucikan hati dan jiwa, beliau juga meminta hadirin membaca syahadat bersama-sama. Aku mengikuti prosesi dari dalam kamarku didampingi Fatia. Beliau membawa suasana begitu khusyuk dan sakral. Sebelum memulai ijab beliau memberikan khutbah nikah, khutbah yang disampaikan Baginda Rasulullah ketika menikahkan puteri tercintanya Fatimah Az Zahra dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Hatiku bergetar, berkabut dan gerimis. Aku meneteskan air mata. Fatia menggenggam tanganku erat. Aku belum pernah merasakan suasana sedemikian sakral.
Bapak yang bertindak langsung menikahkan kami. Terdengar lirih dari dalam kamar namun jelas bapak mengucapkan akad.
Ya Arga Syahreza, anikahtuka wa tazwijatuka binti Maria Al Qibtiya bi mahri al khatam min dzahab haalan
Qabiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur haalan, ala manhaji kitabillah wa sunnati Rasulillah!” terdengar suara Mas Arga dengan lantang mengucapkan janji itu.
Air mataku mengalir, ku tangkupkan kedua tanganku ke dadaku mengucapkan syukur Alhamdulillah, hatiku bertakbir, bertasbih.
 Fabiayyialaa irabbikuma tukadzdzibaan.
 ***
       (Bersambung)

Rindu rindu yang membuncah didalam hati
Menderu tak berarah, membahana tak bertuah
Sendu pilu yang membelenggu kalbu
Merantai dawai dawai cinta yang berserak
Sayu pandang yang mengharu
Melantun kidung asmaraku padamu
Katub bibir yang membisu
Melukis indah samudera kasihmu