Aina Rainasti
Coretan coretan kecil
Rabu, 13 Desember 2017
Hujan & Matahari
Seperti hujan
yang enggan tinggal
tapi terus kembali
lagi dan lagi...
Seperti matahari
yang pastikan tenggelam
namun kan terbit esok pagi
lagi dan lagi...
Seperti hujan dan matahari
begitulah engkau
datang lalu pergi
pergi lalu kembali...
Tapi entah mengapa
seperti hujan yang menyuburkan
seperti matahari yang menghidupkan
warnamu membawa semi dihati
lagi... dan lagi...
Rabu, 04 Mei 2016
Catatan yang berserakan
Sahabat adalah ....
seseorang yang membantumu menjadi baik,
seseorang yang membuat hatimu tenang,
seseorang yang menggetarkan hatimu,
walau hanya mengingat namanya
Sahabat adalah ....
seseorang yang membuat matamu tiba-tiba berkaca,
ketika kau mengingat wajahnya,
seseorang yang membuatmu bahagia,
walau hanya mengingat suaranya
dan membuatmu menangis ketika merindukannya
Sahabat adalah ....
ia yang kau sebut dalam doa
agar kebaikan selalu menyertainya
meski ia tak akan selamanya selalu ada
seperti saat-saat persahabatan itu mulai tumbuh dan berbunga
***
Saya salin dan ketik kembali catatan itu dari salah satu buku catatan. Tapi tak ditemui catatan waktu, kapan penulisannya. Berusaha mengingat-ingat, mengapa tulisan itu ada, karena hampir semua coretan dan catatan yang saya buat pasti ada sebab atau seseorang yang menjadi idenya. Sambil mengetik terus berusaha mengingat, selang beberapa saat dan akhirnya sebab itu ditemukan. Yah, karena ada air mata setelah membaca ulang kronologi fb dan menemukan postingan lama ini
seseorang yang membantumu menjadi baik,
seseorang yang membuat hatimu tenang,
seseorang yang menggetarkan hatimu,
walau hanya mengingat namanya
Sahabat adalah ....
seseorang yang membuat matamu tiba-tiba berkaca,
ketika kau mengingat wajahnya,
seseorang yang membuatmu bahagia,
walau hanya mengingat suaranya
dan membuatmu menangis ketika merindukannya
Sahabat adalah ....
ia yang kau sebut dalam doa
agar kebaikan selalu menyertainya
meski ia tak akan selamanya selalu ada
seperti saat-saat persahabatan itu mulai tumbuh dan berbunga
***
Saya salin dan ketik kembali catatan itu dari salah satu buku catatan. Tapi tak ditemui catatan waktu, kapan penulisannya. Berusaha mengingat-ingat, mengapa tulisan itu ada, karena hampir semua coretan dan catatan yang saya buat pasti ada sebab atau seseorang yang menjadi idenya. Sambil mengetik terus berusaha mengingat, selang beberapa saat dan akhirnya sebab itu ditemukan. Yah, karena ada air mata setelah membaca ulang kronologi fb dan menemukan postingan lama ini
Senin, 02 Mei 2016
Titipkan pesan kepada hatimu
Wahai jiwa jiwa yang menggetarkan hati
tetaplah disana
tetaplah berpijak ditempatmu,
jangan beranjak,
hingga waktu yang dihalalkan untukmu tiba,
hadir dan membukakan pintu gerbang
yang bertabur keindahan bagimu...
Wahai jiwa jiwa yang menenangkan hati
tetaplah disana,
tetap teguhlah dipangkalmu,
jangan beranjak,
hingga raga itu datang
dengan jalan yang benar kehadapanmu
tetaplah disana
tetaplah berpijak ditempatmu,
jangan beranjak,
hingga waktu yang dihalalkan untukmu tiba,
hadir dan membukakan pintu gerbang
yang bertabur keindahan bagimu...
Wahai jiwa jiwa yang menenangkan hati
tetaplah disana,
tetap teguhlah dipangkalmu,
jangan beranjak,
hingga raga itu datang
dengan jalan yang benar kehadapanmu
Rindu Sumba
Tak lagi ku nikmati sepimu
Yang membuai dan mengiringi kecamuk dadaku
Akan jiwa-jiwa yang terpisah ruang, jarak dan waktu
Tak lagi ku dengar lantunan sendu tuanmu
Yang menggores dan menoreh warna dihidupku
Lewat gumul berbalut canda sepanjang waktu
Tak lagi kurasakan kesejukan pagimu
Lewat mata air yang setia membasuh tubuhku
Di balik tirai pepohonan di lereng berbatu
Tak lagi ku saksikan gamal-gamal merayu
Dengan bunga-gunga merah muda yang bersemi indah
Di musim panasmu yang terik
Tak lagi ku pandang langit malammu
Yang bertabur jutaan bintang-bintang
Bak permata yang memancarkan pesona dikegelapan
Tak lagi ku rasakan desiran anginmu
Yang menjaga dan memeluk ragaku
Disepanjang siang dan malamku
Tak lagi ku temukan rembulan bersinar terang
Yang nampak begitu dekat
Hingga terasa jemari tanganku mampu meraihmu
Sungguh cintaku membuat hatiku tercekik rindu
Rinduku yang membuncah kepadamu
Tanah Mahu, Bumi Marapu, Matawai Amahu pada Njara Hamu
Surabaya, 3 Mei 2016
Siti Nur Ainunnajah
Rumah Bapak Dusun Uma Gudang desa Patamawai. Ketika ada warga yang meninggal, upacara penguburan dilakukan secara besar-besaran. Seluruh penduduk memakai pakaian adat setempat.
Surabaya, 3 Mei 2016
Siti Nur Ainunnajah
Singgah dirumah salah satu siswa kelas VII SMPN Satap Patamawai "Frans" dalam perjalanan menuju air terjun Patamawai. Mayoritas rumah penduduk yang masih berada dikampung-kampung didataran tinggi masih berupa rumah panggung kayu. Sebagian beratap seng, sebagian beratap jerami, terutama rumah-rumah ladang.
Rumah Bapak Dusun Uma Gudang desa Patamawai. Ketika ada warga yang meninggal, upacara penguburan dilakukan secara besar-besaran. Seluruh penduduk memakai pakaian adat setempat.
Jalan menuju kampung Uma Gudang disore hari
Langit dini hari di atas bukit Patamawai
Sabtu sehat, waktunya kerja bakti dan pengembangan diri siswa
Pohon gamal yang mulai berbunga bak sakura memasuki musim kemarau
Jumat, 29 April 2016
Belajar Nulis
Ketika Ku Menemukanmu
Mungkin
aku salah satu tipe orang yang tidak mudah jatuh cinta. Diusia yang memasuki 2
dasawarsa ini belum pernah sekalipun aku merasa jatuh cinta kepada seorang
pria, paling-paling hanya rasa mengagumi, lebih dari itu tidak ada dan belum
pernah. Mungkin itu sebuah pengakuan yang naïf dan munafik, tapi itulah yang
sesungguhnya. Bukan aku pemilih
atau perfeksionis tapi aku hanya ingin menjadi cinta pertama dan terakhir bagi
lelaki yang nantinya aku cintai, untuk itu aku juga berusaha menjadikan lelaki
itu cinta pertama dan terakhir yang pernah tumbuh dan bersemi dihatiku, walau
aku belum tahu siapa dia sampai nanti Tuhan mempertemukan aku dengannya. Aku
percaya bahwa perempuan yang baik hanya untuk lelaki yang baik begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu jika ingin mendapatkan yang baik, maka terlebih
dahulu kita harus berusaha menjadi pribadi yang baik. Memang terdengar terlalu
idealis, tapi itu adalah satu harapan,
mimpi dan cita-cita yang telah menjadi do’aku akan sosok lelaki yang ku harap
Dia pilihkan untukku. Orang lain boleh tertawa mendengarnya, tapi itu merupakan
hak asasi yang setiap orang boleh memilikinya. Prinsip itu selalu aku jaga
sampai suatu ketika aku merasakan sesuatu yang berbeda.
Tepat
enam bulan yang lalu, ketika aku mengikuti kuliah umum akuntansi yang diadakan
jurusan pendidikan ekonomi di auditorium fakultas ekonomi, tiba-tiba Fatia
mengatakan sesuai yang aneh. Awalnya disela-sela sesi tanyajawab Fatia nyeletuk
bertanya, “Al, Bu Wulan—asdos kaprodi
akuntansi yang menjadi moderator dalam kuliah umum yang sedang kami ikuti— itu
sudah punya suami?”
“Eh
belum Ti, dia belum menikah, emang kenapa kok tiba-tiba tanya gitu?” jawabku.
“nggak
Cuma pengen tanya saja, ku kira sudah bersuami, kenapa belum menikah ya?”
“Eh
kamu ni ya kok tanya aku, ya mungkin belum ketemu jodohnya Ti, makanya kamu
carikan lho, kamu kan punya banyak kakak sepupu, masih ada yang available kan?” sahutku sekenenya
sembari tertawa ringan, aku merasa lucu mendengar
dia menanyakan hal itu.
“hehehe
iya ya nanti biar aku buka biro jodoh sekalian”
“kamu
ni ada ada ja”
“Oh
tapi mas sepupuku yang available itu cuma
tinggal satu dan sukanya sama kamu Al” ucap Tia tiba-tiba.
“Hehm apa Ti?”, sahutku sambil tertawa,
“Bercandamu luucu banget”
“Aku
serius!” jawabnya “Kamu masih ingat aku pernah cerita ke kamu tentang anak
budhe ku yang pernah ngajak aku jalan-jalan ke Batu dulu”,
Aku
hanya mengernyitkan dahi sambil mengingat-ingat
“Aku
juga pernah cerita ke kamu kalo mas ku itu pemuda yang baik dan pandai, kata
orang disekitarnya juga santun, meski dari keluarga yang sangat sederhana
bahkan kurang tapi ia bekerja keras untuk mengubah kondisi keluarga dan
dirinya, siang hari ia bekerja dikecamatan, sore hari mengajar komputer di SMP,
malam kuliah, tiga kali seminggu mengajar ngaji anak-anak didesanya. Ia bersama
kakaknya bahu membahu membantu ekonomi keluarga hingga mampu merenofasi
rumahnya menjadi lebih layak, rumah yang
dulunya beralaskan tanah kini sudah berubin, dinding yang dulunya kayu kini
menjadi dinding semen yang permanen. Karena pribadinya yang baik membuat
beberapa pemuka agama didaerah rumahnya pernah memintanya untuk menjadi menantu
dan suami bagi putrinya. Tapi ia enggan, kamu masih ingat?”
“Ehm..”
aku merapatkan bibir sambil memberikan anggukan kecil,
“Masku
itu—kebiasaan Fatia memanggil kakak
sepupunya— suka sama kamu” tambahnya dengan wajah yang serius.
Deggh jantungku
tiba-tiba berdetak begitu keras tanpa komando saat telingaku mendengar kalimat
itu, aneh. Memang Tia suka sekali
menceritakan keluarganya dan salah satunya adalah mas sepupunya itu, bahkan
tidak hanya sekali tapi berkali-kali ia menceritakan sosok yang menurutnya
luarbiasa itu, dan tidak ku pungkiri setiap kali Tia bercerita tentang
kehidupan sepupunya, kepribadian tokoh utama cerita itu diam-diam selalu membuatku
kagum meski sosoknya tak nyata bagiku. Tapi aku tak pernah menyangka akan
seperti ini. Aduh perasaan tadi sedang bercanda deh, kok malah begini. Aku
tertegun sesaat, apa yang aku dengar
barusan? fikirku. Bercanda. Apa sih?
Aku
masih tidak percaya dan tak ingin membuat hatiku percaya lalu membuatku terlena
“udah deh Ti jangan bercanda, maksudnya apa?, nggak mungkin banget” ucapku
masih dengan tawa.
“beneran,
aku nggak bercanda, Masku suka sama kamu”
Aku
sangat mengenal Fatia dan tahu betul bagaimana mimik wajahnya ketika serius
atau tidak, dan yang pasti kini dia sedang tidak bercanda. Itu membuatku
semakin bingung, tak terdengar lagi suara-suara audience yang mengajukan
pertanyaan, pembicara yang memaparkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan, bahkan suara Bu Wulan, sang moderator yang tadi menjadi topik
pembicaraanku dengan Fatia, yang berkelebat difikiranku hanya tanda tanya
besar. Tanda tanya yang muncul setelah apa yang dikatakan Fatia kepadaku
barusan. Bagiku ini aneh dan mustahil.
“Gimana
aku percaya, menyukaiku, itu aneh, nggak mungkin lah, dia saja nggak kenal aku,
ketemu nggak pernah, ngobrol apalagi, darimana bisa suka coba? Kok Bisa?”
tanyaku meminta penjelasan.
“Ayahku
Al yang bilang” jawab Fatia.
“Aku
nggak faham Ti, maksudnya? Kok bisa ayahmu?”
“kamu
tahu kan aku dekat dengan ayah, selalu cerita apapun kepadanya, termasuk siapa,
bagaimana teman-temanku dan orang-orang yang pernah kutemui, tidak terkecuali
kamu pastinya. Nah, ketika Mas sepupuku main kerumah, entah ngomongin apa
awalnya, tapi ayahku bercerita tentang kamu padanya, entah apa saja yang
diceritakan ayahku, yang jelas mulai saat itu dia tertarik kepadamu dan ingin
mengenal kamu. Pernah Masku mengirim pesan singkat padaku yang bilang minta
dikenalkan dengan temanku, tapi tidak secara spontan bilang siapa, aku nggak
terlalu menanggapinya serius, kukira cuma iseng saja sembari tanya kabarku di
Surabaya. Tapi saat aku pulang kampung, ayah bercerita perihal itu kepadaku,
darisitu aku mulai faham maksud pesan yang dikirimkan Masku beberapa waktu yang
lalu. Aku awalnya cukup terkejut, ternyata kepribadianmu bisa menarik hati
Masku yang keren itu, karena penasaran akhirnya aku tanyakan kepadanya.
Ternyata memang begitu adanya, dia ingin aku mengenalkannya kepadamu. Sebenarnya
sudah lama, sejak kita masih disemester dua akhir. Tetapi aku tidak pernah
berani mengatakannya kepadamu karena aku tahu bagaimana dirimu, seberapa kuat
kamu berusaha menjaga prinsipmu untuk tidak pacaran walau hanya pendekatan, sebelum
kamu sampai pada titik dimana kamu siap untuk naik kejenjang itu. Aku juga
mengatakan hal itu kepada Masku. Namun sepertinya hal itu semakin membuat dia
menyukaimu.” Ungkap Fatia kepadaku.
“hahaha…
kamu nih bisa aja, kayak dongeng tau” sahutku sambil lalu
“hiiiiiiiiii
kamu nih nggak percayaan banget” celoteh Fatia gemes.
“udah-udah
lihat tuh kita udah ketinggalan, sakarang sudah sampai kesimpulan” ujarku
mengalihkan topik pembicaraan, aku tidak ingin meneruskannya, tapi entah
mengapa ada perasaan aneh yang menyusup dibenakku, entah apa dan mengapa aku
tak tahu.
“Nah
sudah selesai, mbak Alqi sudah bisa buka matanya sekarang” ucap Bu Mayang yang
sedari tadi merias wajahku.
Aku
pun perlahan membuka mata, tak ada lagi pemateri dan peserta yang mengikuti
seminar akuntansi di auditorium, tak juga Fatia yang duduk disampingku
menceritakan tentang sepupunya, memori itu sekejap hilang ketika ku membuka
mata, kini yang nampak hanya bayangan wanita di cermin. Wanita itu berbalut
kebaya berwarna cokelat dengan jilbab yang senada, ia nampak sedikit asing
karena riasan diwajahnya.
“Mbak
Alqi cantik sekali” imbuh Bu Mayang sambil tersenyum melihat bayanganku dari
cermin.
Aku
tersenyum, aku merasa asing melihat bayangan wajahku di cermin, meski setiap
hari melihat wajahku dicermin, tapi hari ini sedikit berbeda, bayangan wajah
yang biasanya ku jumpai disana tampak polos tanpa make-up, tapi sekarang wajah
itu begitu berwarna.
“Gimana
mbak, suka dengan riasannya? Terlihat natural kan, seperti yang mbak minta?”
Tanya bu mayang kepadaku
“iya
bu, terima kasih, tapi rasanya aneh, nggak pernah dandan seperti ini, jadi
nggak percaya diri kalau dilihat orang” sahutku malu
Tok…tok…tok…
kreeek, terdengar orang mengetuk pintu dan membukanya
“Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumsalam…”
sahutku dan Bu Mayang hampir bersamaan sembari menoleh kearah pintu,
“Wah
Al kamu cantik sekali, pangling” seru Fatia.
“Masak
sih…” jawabku sekenanya
“Pasti
nanti dia nggak bisa berkedip dech melihat kamu” sahut Tia menggodaku.
“Kamu
ini……” sahutku sembari menyubit lengannya “aku deg-degan Fat, gugup”
“Tenangkan
dirimu Al, ucap bismillah”
Dalam
hati ku ucapkan apa yang dimintanya barusan. Perasaanku lega, tapi itu hanya
sekejap, jantungku berdegup semakin cepat ketika ibu masuk dan mengatakan bahwa
dia sudah datang. Melihatku gugup ibu langsung memeluk dan menenangkanku
sejenak lalu keluar lagi menemui tetamu yang datang. Kini aku hanya ditemani
Fatia didalam kamar. Tak ada suara, kami hening dalam keharuan. Tiba-tiba air
itu jatuh begitu saja dari mataku, menetes ditelapak tanganku. Seketika
pandanganku dipenuhi kilatan putih,
tubuhku seolah ditarik oleh lorong waktu yang membawaku ke memori
beberapa bulan lalu.
“Fat
akhir pekan ini aku mau pulang ke Blitar, ikut yuk, biar kamu tahu, ntar disana
aku ajak keliling” ajak Fatia.
“emh
kayaknya seru, aku mau banget tapi aku izin ibuku dulu ya”, jawabku antusias.
“Ok
ku tunggu kabarnya” sahutnya
Jumat
pekan itu, seusai kuliah aku tidak langsung pulang, aku dan Fatia mampir ke
kantin masjid kampus untuk makan siang sambil menunggu waktu sholat dhuhur. Aku
telah mendapatkan izin dari ibuku untuk ikut Fatia pulang kampung ke Blitar.
Setelah makan siang dan menunaikan sholat duhur di masjid Baiturrahman I kami
kembali ke kos Fatia untuk mengambil beberapa barang yang akan kami bawa, tak
perlu waktu lama kami langsung tancap gas mengendarai motor menuju Blitar. Kami
mengambil jalur alternatif Jombang-Blitar agar lebih dekat. Hampir 4 jam kami
habiskan waktu diperjalanan dengan ditemani pemandangan sawah-sawah yang
menghijau. Kami sampai di rumah Fatia
setelah adzan maghrib. Ternyata ibu dan adik Fatia telah menunggu kami, mereka
menyambut kami dengan senyum ceria. Aku langsung bersalaman dengan ibu Fatia
serta adiknya. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan ibunya, tapi seolah
beliau sudah mengenalku cukup lama. Mungkin Fatia sering bercerita tentangku
kepada ibunya. Namun hal itu membuatku nyaman dan tidak canggung.
“Mandi
dulu nduk, biar seger, pasti capek perjalanan jauh”, ucap ibu Tia kepadaku.
“Enggeh
Bu”, jawabku. Setelah menaruh barang di kamar Tia aku langsung bergegas mandi,
menghilangkan debu dan bau asap yang sedari tadi menempel ditubuhku. Kami
bergantian antri mandi, aku mendapat giliran pertama. Setelah selesai aku
langsung kembali kekamar dan bergegas sholat maghrib yang waktunya sudah hampir
lewat.
“Al,
sudah selesai sholat?”, terdengar suara ibu Fatia memanggilku. Suara beliau
berasal dari ruang tamu.
“Sudah
Bu”, jawabku.
“Sini
Nduk” pinta beliau.
“Enggeh,
sekedap Bu”, sahutku. Aku pun langsung merapikan mukenah yang sedari tadi belum
ku lepas dan bergegas ke ruang tamu menemui beliau. Ternyata sudah tersaji
cangkir-cangkir berisi minuman panas dan sepiring pisang goreng diatas meja.
Canda, adik Fatia duduk disamping ibu.
“Duduk
sini, diminum tehnya biar perutnya hangat”, pinta ibu. Tak lama kemudian Fatia
muncul dari belakang dan ikut bergabung dengan kami.
“Capek
nggak Al?”, Tanya Fatia kepaku.
“Lumayan”,
jawabku sambil tersenyum.
“Mau
jalan-jalan ke alun-alun nggak?”, ajaknya kepadaku.
“Eeeh
besok saja Ti, capek habis motoran jauh gitu, malam ini istirahat dulu dirumah,
besok baru jalan-jalan. Alqi juga pasti capek, ya nggak Al?”, sahut ibu
mendahuluiku.
“Hehe…
enggeh buk”, jawabku sambil tersenyum.
“Sudah
diminum ini tehnya, habis itu makan, ibu tadi sudah masak pepes pindang pakek
mangga muda sama sayur asem”.
“Oke
deh, siiiip. Ayo Al kita makan, besok saja aku ajak kamu keliling-keliling”,
ucap Fatia sambil melempar senyum kepadaku.
Hehm
aku tersenyum dan sedikit kaget, itu kan menu kesukaanku, pasti Tia sengaja
bilang ke ibu untuk masak itu. Aku serasa jadi tamu istimewa. Aku diterima
dengan baik disini. Sebelum makan aku sempat menanyakan keberadaan ayah Tia
karena sedari kami datang ayahnya belum kelihatan. Ibu bilang kalau ayahnya Tia
ada perlu dengan temannya, mungkin baru pulang besok.
***
Hari
ini seperti janji Fatia kemarin malam, dia akan membawaku keliling-keliling.
Entah kemana saja. Selesai mandi dan sarapan aku dan Fatia sudah bersiap, tak
lupa kami memanaskan motor. Ternyata tidak hanya kami berdua, Canda juga mau
ikut serta. Jadi kami jalan bertiga. Kami berangkat sekitar jam setengah
sepuluh pagi. Saat kami pamit, ibu Fatia memberikan pesan untuk menyempatkan
mampir kerumah seorang bibinya dan dia mengiyakannya. Hari ini Fatia akan
menjadi tour gide ku seharian, dan aku adalah turis yang belum mengenal daerah
wisata yang akan dikunjungi. Jadi hari ini aku harus pasrah dibawa kemana saja.
Tujuan
pertama kami adalah alun-alun kota Blitar. Hanya butuh waktu 15 menit dari
rumah Fatia untuk sampai di alun-alun. Ada yang menyewakan otoped di dalam
alun-alun. Terlihat beberapa anak-anak meluncur kesana-kemari menggunakan
otoped sewaan itu, hal ini membuat Canda merengek minta naik juga. Kami pun
menurutinya. Sambil menunggu Canda bermain otoped, aku dan Fatia duduk dibawah
pohon besar sambil ngobrol.
“Al
habis ini kita ke makam dan museum Soekarno ya?”, ajak Fatia
“Oke,
aku manut saja, pasti aku mau saja” jawabku sekenanya.
“Tapi
sebelum kesana, nanti kita mampir bentar ke masjid itu ya, aku pengen lihat
dalamnya”, imbuhku sambil menunjuk masjid agung Blitar yang berada disamping
kiri alun-alun.
“Tentu”,
jawab Tia pasti.
Ternyata
masjid agung Blitar tidak sebesar yang nampak dari luar. Namun designnya cukup
menarik dengan sentuhan interior pintu-pintu kayu tempo dulu. Tak lama kami
melihat-lihat dalam masjid. Kami langsung meluncur kearah timur alun-alun
menuju makam Bung Karno yang juga searea dengan museum Sukarno. Tentu tempat
ini adalah tempat yang tidak boleh terlewatkan kalau kita berkunjung ke kota
kelahiran Bapak Proklamator negeri ini. Di tanah inilah tokoh penting negeri
ini lahir dan disemayamkan. Aku sangat bersemangat sekali ketika sampai di
parkiran, aku nggak sabar ingin masuk dan melihat isi didalamnya. Terlihat dari
luar arsitektur bangunan museum Sukarno sangat modern dan artistik, tampak
seperti piramida kaca. Saat memasuki pintu gerbang kami harus langsung di
hadapkan dengan gapura mirip gerbang masuk candi. Tingginya mungkin sekitar 4
atau 5 meter dengan dilapisi granit berwarna abu-abu gelap kehitaman. Banyak
orang lalu lalang keluar masuk melewatinya. Didalam sanalah makan Bung Karno
berada. Kami putuskan untuk ke museum dulu, kami menuruni anak tangga yang
berada 5 meter di hadapan gapura makam Bung Karno. Terdapat kolam air mancur di
tengah- tengah areal yang kita lewati menuju museum. Sebelah kirinya berdiri
kokoh dinding berukir gambar-gambar Soekarno dan peta Indonesia serta
peristiwa-peristiwa sebelum kemerdekaan. Ada sebuah ukiran besar yang menarik
perhatianku. Sebuah ukiran Bung Karno yang sedang bersimpu dilutut ibundanya
yang sedang duduk di kursi goyang seolah beliau sedang memohon doa dan restu.
Nampak sang ibu membelai kepala putranya yang bersongkok itu dengan mata yang
sayu disertai senyuman penuh kasih sayang. Ukiran tersebut seolah menunjukkan
betapa pemimpin pertama negeri ini begitu hormat dan menyayangi ibundanya. Aku
sempatkan berfoto didepan dinding berukiran tersebut. Kami langsung berjalan
menuju bangunan kaca transparan yang begitu artistik dan modern. Bangunan itu
terbagi menjadi dua bagian kiri dan kanan, masing masing terdiri dari dua
lantai yang dihubungkan dengan jembatan tangga yang berada di lantai dua.
Sedangkan dibawahnya terpisah, terdapat sebuah patung Bung Karno duduk yang
berwarna hitam. Bangunan sebelah kanan adalah museum serta galeri, sedangkan
bangunan yang sebelah kiri adalah perpustakaan. Kami benar-benar mengelili
seluruh sisi dan sudut bangunan tersebut, banyak sekali wawasan dan informasi
yang kami peroleh dari tempat ini terutama tentang sosok Soekarno, termasuk
wanita-wanita yang pernah mendampingi beliau. Tak terasa hampir 3 jam kami
berada di dalam bangunan indah ini. Ketika kami keluar hari sudah sore, kami
memutuskan untuk pulang.
Tapi
di tengah perjalanan Fatia mengambil jalan yang berbeda, sepertinya ini bukan
jalan kembali kerumahnya.
“Al
kita mampir kerumah bibiku dulu ya, tadi ibu memintaku kesana, sepertinya
bibiku lagi nggak enak badan, jadi aku diminta lihat kondisinya sekalian sowan kan
sudah lama juga nggak kesana, nggak apa-apa kan kita mampir dulu?”, kata Fatia
kepadaku.
“Iya
Ti, ndak apa, lagian kalau aku ndak mau, masak aku pulang jalan kaki?”, jawabku
sambil bercanda.
“Hehehe…
iya toh, kalaupun kamu nggak mau ya pasti tetep ikut kan aku yang bonceng”,
sahutnya.
Tak
lama kami melajukan motor akhirnya berhenti disebuah rumah. Rumah itu tidak
terlalu besar tapi tidak kecil juga, namun memiliki halaman yang asri, ada
banyak tanaman bunga didepannya. Kamipun memarkir motor dan mengucap salam.
Pintu rumah itu terbuka menandakan ada orang didalamnya. Tak perlu kami mengucap salam dua kali si
empunya rumah menjawab salam tersebut. Tampak seorang wanita paruh baya
berjalan keluar, mungkin usianya sekitar 50 tahunan, tapi garis kecantikan
masih nampak di wajahnya. Ini pasti bibinya Fatia.
“Oalah,
keponakanku yang cantik sendiri toh, sini-sini masuk?”, sapa wanita itu. Kami
pun langsung cium tangan.
“Enggeh
Bu dhe, Bu dhe apa kabar? Katanya nggak enak badan? Makanya ibu tadi nyuruh
mampir.”, kata Fatia. Kami pun dipersilahkan duduk.
“Oalah
lawong cuma masuk angin kok nduk, ndak apa-apa, loh ini siapa Ti? Temen
kuliahnya ta?” Tanya Bu dhe nya Tia sambil tersenyum kepadaku.
“Enggeh
Bu dhe, namanya Alqi, teman kuliah saya”, ucap Tia memperkenalkan aku. Aku
mengulur senyum kepada beliau.
“Rumahnya
dimana nduk?” Tanya beliau kepadaku
“Sidoarjo
Bu”, jawabku.
“Oalah
jauh-jauh dari Sidoarjo main kesini, kapan sampai? Naik apa?” tanyanya
beruntun.
“Kemaren
Bu, naik motor”
“Subhanallah,
perempuan-perempuan motoran berdua dari Surabaya sana? La kok kuat? Nggak takut?”
“Hehmm,
ndak bu” jawabku sambil tersenyum.
“Oalah nduk-nduk, tunggu sebentar ya bu dhe buatin
minum dulu”
“Pun Bu dhe, ndak usah repot-repot”, ucapku hampir
bersamaan dengan Fatia.
“Ndak, repot apa, lawong cuma minum saja kok”, sahut
Bu Dhe Tia sambil berlalu ke dapur.
“Mas Arga kemana Bu dhe kok nggak kelihatan?” tanya
Tia sambil berteriak agar Bu dhenya dibelakang kedengaran.
“Keluar itu tadi, ndak tahu kemana, coba aja di
telepon” jawab Bu dhe dari dalam. Terjadilah percakapan antara mereka dari ruang
tamu dan dapur hingga akhirnya Budhe keluar membawa nampan minuman untuk kami.
Percakapan merekapun terus berlanjut, entah siapa dan tentang apa yang
diobrolkan, aku hanya mendengarkan dan sesekali tersenyum kepada Bu dhenya
ketika beliau melempar pandangan kepadaku.
Aku melihat jam tanganku menunjukkan pukul setengah empat,
dan kami belum sholat. Akhirnya aku numpang sholat ashar. Tia sedang
berhalangan jadi dia tidak sholat. Aku minta dia pergi sama-sama tapi dia
meminta Canda mengantarku dan kekamar mandi dulu. Dia masih terlibat obrolan
dengan Bu dhenya. Ya sudah akhirnya aku minta ijin kebelakang di antar Canda.
“Lewat sini Kak”, ucap Canda memanduku
“Disini kah?”, tanyaku tempat wudhu kepada Canda
“Iya, nti tempat sholatnya disitu ya kak?”, sambungnya
menunjukkan musholah kepadaku.
“Oke makasih cantik…” ucapku tersenyum kepadanya.
Akupun bergegas ambil wudhu dan sholat ashar di tempat yang ditunjukkan Canda.
Canda adalah adik semata wayang Tia, dia baru kelas 1 SD, usianya terpaut jauh
sekali dengan Tia, 14 tahun. Tia baru mempunyai adik ketika dia duduk di kelas
2 SMP. Dia mirip sekali dengan Tia, juga sama ceriwisnya kayak Tia. Canda setia
menungguiku sampai selesai sholat. Dia duduk tepat di belakangku ketika aku
selesai salam.
“Kak, tunggu ya Canda mau pipis dulu”, ucap Canda
kepadaku.
“Iya, Kakak tunggu, pipis gih”, jawabku sambil
merapikan mukenah. Ada jendela kaca dekat pintu samping kamar mandi, akupun
berkaca merapikan kerudungku sembari menunggu Canda didepan jendela tersebut.
Tiba-tiba samar-samar terlihat seorang lelaki dari luar lewat hendak memasuki
pintu tersebut sambil tersenyum melihat apa yang kulakukan. Aku kaget. Ya
ampuun betapa malunya aku. Asyik bercermin ternyata ada orang yang lihat,
lelaki pula. Sontak aku langsung berbalik membelakangi kaca itu menyembunyikan
wajah maluku. Tapi lelaki itu sudah membuka pintu dan masuk, bersamaan dengan
Canda keluar dari kamar mandi.
“Eh Mas Arga, Mas dari mana?”, ucap Canda menyapa
lelaki itu, syukurlah mungkin sapaan Canda bisa mengalihkan rasa maluku.
“Loh Canda, sama siapa kamu kesini?, Tanyanya kepada
Canda masih sambil tersenyum.
“Sama mbak Tia dan Kak Alqi”, jawab Canda sambil
menunjuk kearahku.
Aku berusaha tersenyum wajar seraya menyembunyikan
rasa malu. Dia juga tersenyum.
“Oh, temannya Tia ya Mbak?” tanyanya dengan sopan
kepadaku.
“Iya Mas”, jawabku singkat
“Dari mana?”, lanjutnya bertanya masih dengan senyuman
yang sama.
“Sidoarjo” jawabku tertunduk malu
“Permisi Mas, saya kedepan dulu, Canda masih mau
sama-sama dengan Masnya ya, kakak ke depan dulu ya” imbuhku menghindari dialog
yang lebih panjang.
“Oh iya mbak, silahkan, iya biar Canda sama saya”,
ucapnya mempersilahkan, dan sekali lagi masih dengan senyum yang sama.
Aku pun kembali ke ruang tamu dan meninggalkan
mereka. Sepertinya aku pernah melihat lelaki itu, iya, lelaki yang di panggil
Canda “Mas Arga” itu, tapi dimana ya, entahlah. Fikirku sambil berjalan kearah
ruang tamu.
“Sudah
selesai Al?”, Tanya Tia
“Sudah”
“Candanya kemana?”
“Masih dibelakang sama Mas kamu”
“Mas Arga?” Tanyanya antusias
“Iya sepertinya Canda tadi panggil dia Mas Arga
gitu”
“Oh kamu tadi ketemu dibelakang berarti? Eh tunggu
bentar ya aku mau temui dia dulu” tanyanya sambil berlalu ke belakang
meninggalkanku di ruang tamu sendiri tanpa menunggu jawabanku. Saat aku berada
di ruang tamu itu bibinya Tia sudah ndak ada entah kemana. Jadilah aku duduk
termenung sendiri, pandanganku menyapu isi ruangan mengamati detailnya. Mataku
berhenti pada sebuah lemari kaca di sudut ruangan, lemari itu dipenuhi
buku-buku. Aku berdiri dan melangkah mendekatinya dan mulai mengamati buku-buku didalamnya.
Terdapat buku-buku tentang komputer, kamus, manajemen, motivasi, novel dan
kitab-kitab fiqih. Hanya mengamatinya saja, aku tak berani membuka dan
mengambilnya. Meski aku ingin. Pasti salah satu penghuni rumah ini ada yang
hobi baca buku dan ini adalah koleksi miliknya.
“Itu semua buku-bukunya Arga nduk, putera bungsu
Ibu”, celetuk suara dari belakangku, ternyata bibinya Fatia. Ia berjalan dari
arah luar entah dari mana.
“Eh iya Bu, Ibu dari mana?” tanyaku.
“Dari rumah sebelah, kamu makan mangga nduk? Ini
tadi dikasih sekantong sama tetangga sebelah, kemaren habis ngunduh katanya.”
“Enggeh bu, makasih, sekedap”
“Ibu kupasin ya”
“Eh ndak usah bu, biar saya saja yang kupas sendiri”,
aku pun duduk menghampiri bibinya Fatia dan mendahuluinya mengupas mangga.
“Aku juga mau Al, kupasin buat aku juga ya” suara
Fatia yang tiba-tiba muncul dari belakang, diikuti Canda dan Mas Arga. Kami pun
duduk bersama diruang tamu.
“Canda sama mas Arga juga mau Kak”, imbuh Canda
ikut-ikutan sambil melirik Mas Arga. Mas Arga tersenyum mengiyakan. Pandangan
kami beradu ketika aku melihat kearahnya. Risih rasanya. Entah kenapa aku
merasa ada sesuatu yang aneh. Jantungku berdebar. Setiap aku melihat, pandangannya
selalu sedang kearahku. Maka selalu langsung kualihkan pandangan ke Fatia.
Diapun hanya tersenyum atau menggerakan dagunya seolah bertanya kenapa.
Membuatku semakin canggung. Untuk mengalihkannya aku fokus saja mengupas
mangga. Aku kupaskan untuk mereka satu persatu.
Setelah puas makan mangga kami akhirnya pamit
pulang. Saat dihalaman hendak memutar motor, aku dan Fatia sempat mengamati
tanaman- tanaman bunga yang ada dihalaman tersebut. Sungguh cantik. Pandanganku
tertuju pada sebuah pot kecil, didalamnya tertanam bunga krisan putih yang
rimbun dan sudah mulai berbunga, sontak akupun menghampiri dan memegangnya.
Bagus sekali, aku suka sekali bunga krisan.
“Kamu suka itu ta nduk? Bawa saja kalau suka”, kata
bibi Tia.
“Eh ndak Bu, lihat saja, bagus sekali, saya suka
krisan, apalagi warna putih”, jawabku.
“Nggak pa pa Al, bawa saja kalau kamu suka, di
belakang masih ada”, ucap Mas Arga tiba-tiba.
“Iya nduk bawa saja, kan sudah dapat ijin dari yang
menanam” timpal Bibi Tia seperti menggoda.
Aku jadi malu, aku lihat Mas Arga, Deg, jantungku berdetak, ternyata dia
juga sedang tersenyum memandangku. Aku membuang pandang ke Tia. Dia juga
tersenyum. Aku pun memberikan isyarat kepadanya untuk segera memutar motor agar
kita bisa segera pulang. Syukurlah dia mengerti isyarat itu. Akhirnya kami pun
pulang, beserta dengan pot bunga berisi krisan putih. Dalam hati aku senang
sekali mendapatkan krisan itu, meskipun aku menerimanya dengan rasa malu.
“Itu tadi Mas Arga Al” tiba- tiba Tia berkata sambil
serius memacu motor maticnya.
“Iya aku tau dari tadi kalian memanggilnya Mas Arga”
balasku sekenanya
“Dia Mas sepupuku yang pernah kuceritakan kepadamu,
yang aku bilang suka sama kamu” ucapnya dengan serius kepadaku.
“Ha? Siapa?” tanyaku terkejut, jantungku berdegup
kencang seketika mendengarnya. Entah kenapa. Kata itu keluar dari mulutku bukan
untuk bertanya tapi karena terkejut. Maksudnya apa, jadi kedatangan Fatia
kerumah bibinya barusan? Batinku.
“Iya Al, maaf sebelumnya, memang aku sengaja
mengajakmu kesana karena bibi dan Masku yang meminta, ibuku juga tahu itu”
“Jadi sudah direncanakan sebelumnya? Aduh Ti, jahat
banget kamu, aku kan malu” ucapku merintih sambil mencubit pinggangnya.
“Aduuh, iya, sorry, sorry” rengeknya kegelian.
“Maksudnya apa? Aduh aku malu sekali Ti!” jantungku
berdegup kencang sepanjang jalan pulang ke rumah Tia, mendengar penjelasan Tia
semakin membuatku heran, bisa-bisanya dia merencanakan hal ini. Sampai di rumah
Tia aku berusaha bersikap biasa
seolah tidak terjadi apa-apa. Meskipun ibu Tia juga mengetahui rencana itu dan
pasti ingin tahu bagaimana tanggapan bibi dan Mas Arga. Namun ibu Tia juga
berusaha bersikap wajar dan tidak menanyaiku secara frontal mengenai pertemuan
tadi.
Dua minggu setelah hari itu, sepertinya hari itu
hari Senin, ba’da ashar aku mendapat telepon dari istri Ustad Mursyid, guru
ngajiku. Masih terngiang jelas percakapan itu.
“Assalamu’alaikum” ucapku ketika mengangkat telepon
itu
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Al
ini bu Nuri”, jawab suara diseberang telepon
“Enggeh Bu, bagaimana kabarnya ibu sekeluarga?”
“Alhamdulillah, baik Al, kami sehat wal’afiat”
“Alhamdulillah bu kalau begitu, ohya kalau boleh tahu
ada apa, kok sampek repot repot telpon saya duluan?” tanyaku penasaran
“Ibu kamu ada Al? Ibu mau bicara dengan ibu kamu,
ada perlu sedikit”
“Oh ada bu, sebentar saya kasihkan teleponnya ke
ibu”
“Iya, terimakasih nduk”
“Bu ini ada telepon dari Bu Nuri, mau bicara sama
ibu, ada perlu katanya” ucapku kepada ibu.
“Bu Nuri? ada apa ya?” Tanya ibu sambil menerima handphoneku,
tapi aku hanya bisa menggelengkan kepala karena aku sendiri tidak tahu.
“Assalamu’alaikum”, lanjutnya menyapa Bu Nuri yang
sudah menunggu telepon.
Entah apa yang dibicarakan Bu Nuri kepada ibuk, tidak
terlalu lama ibu langsung
menjawab salam dan menutup teleponnya.
“Nduk nanti malam pak ustad mau datang kesini,
ngantar orang mau ketemu bapak katanya”
“Siapa bu? Ada apa memang?”
“Ibu juga belum tahu nduk, ibu mau kasih tahu bapak
dulu ya, tolong kamu belikan kue sama melon buat suguhannya tamu nanti ya nduk”
“Enggeh Buk”
***
Tok tok tok … Tok tok tok
“Assalamualaikum” terdengar suara orang mengetuk
pintu
“Wa’alaikumsalam” ibu menjawab salam itu sambil
melangkah membukakan pintu.
“Oh pak Ustad, silahkan masuk, mari-mari” terdengar
suara ibu mempersilahkan masuk,
“Silahkan duduk, sebentar saya panggilkan bapak
dulu, pak ini pak ustad sudah datang” ucap ibu memanggil bapak sambil berjalan
kebelakang memintaku untuk membuatkan minum untuk tamu.
“Enggeh buk” jawab bapak sambil jalan
“Masyaallah pak ustad, dos pundi kabaripun?”
“Alhamdulillah sehat, panjenengan pripun?”
“Alhamdulillah pak ustad, seger waras sedaya, wonten
nopo pak ustad”
“Ini saya kesini selain silaturahmi sebenarnya
sekalian ingin mengenalkan dan mengantar
nak Arga dan ibunya”
“Meniko keponakan pak ustad?”
“Kalau di hitung-hitung ibunya nak arga ini masih
sepupu ipar istri saya, jadi nak Arga ini keponakan saya begitu”
“Oh begitu”
ucap bapak, sambil tersenyum kepada ibu dan Mas Arga
Aku keluar membawakan nampan minuman untuk tetamu, tapi
aku sangat terkejut ketika memasuki ruang tamu melihat siapa yang datang
bersama pak ustad, wajah mereka tidak asing dimataku, bibi dan kakak sepupunya
Tia. Aku melihat dan tersenyum kepada bibi Tia, pandanganku melewati Mas Arga
ketika hendak menyapa pak ustad.
“Maaf pak, kedatangan kami kesini selain
silaturrahmi sebenarnya juga bermaksud ingin mengkhitbah putri bapak untuk
keponakan saya ini, nak Arga”
Degh
sepertinya ada bom yang meledak dijantungku ketika mendengar kalimat itu,
membuatnya berdegup begitu kencang, amat kencang sampai membuatku gemetar, aku
hanya tertunduk, mungkin wajahku sudah sangat merah kini, aku hanya memandangi
cangkir – cangkir yang harus ku suguhkan kepada tamu. Aku berusaha tenang, tapi
kegugupanku membuat cangkir-cangkir itu berbunyi karena tanganku gemetar, dan
sepertinya semua orang diruangan itu menyadarinya.
“Pelan-pelan nduk” ucap bapak sambil mengelus
kepalaku
“Enggeh pak” ucapku dengan suara bergetar.
Tak sadar air mataku benar-benar telah membasahi
telapak tanganku mengingat kenangan itu.
“Loh Al, jangan nangis, nanti make up nya rusak”
kata Fatia sambil mengambil tissue untukku. Aku baru sadar bahwa sedari tadi
air mataku terus mengalir.
“Aku juga nggak ingin nangis Ti, tapi nggak tahu
kenapa airmataku keluar terus” ucapku sambil berusaha tersenyum untuk
mengalihkan rasa gugupku.
“Tenang, istighfar, bismillah, kurang beberapa menit
lagi, akadnya sudah hampir dimulai”
Terdengar Ustad Malik mengucapkan salam dan
bismillah, tanda bahwa acara dimulai, pertama beliau meminta kepada semua
hadirin untuk mengucap istighfar, mensucikan hati dan jiwa, beliau juga meminta
hadirin membaca syahadat bersama-sama. Aku mengikuti prosesi dari dalam kamarku
didampingi Fatia. Beliau membawa suasana begitu khusyuk dan sakral. Sebelum memulai
ijab beliau memberikan khutbah nikah, khutbah yang disampaikan Baginda
Rasulullah ketika menikahkan puteri tercintanya Fatimah Az Zahra dengan
Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Hatiku bergetar, berkabut dan gerimis. Aku meneteskan
air mata. Fatia menggenggam tanganku erat. Aku belum pernah merasakan suasana
sedemikian sakral.
Bapak yang bertindak langsung menikahkan kami.
Terdengar lirih dari dalam kamar namun jelas bapak mengucapkan akad.
“Ya Arga
Syahreza, anikahtuka wa tazwijatuka binti Maria Al Qibtiya bi mahri al khatam
min dzahab haalan”
“Qabiltu
nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur haalan, ala manhaji kitabillah wa
sunnati Rasulillah!” terdengar suara Mas Arga dengan lantang mengucapkan
janji itu.
Air mataku mengalir, ku tangkupkan kedua tanganku ke
dadaku mengucapkan syukur Alhamdulillah, hatiku bertakbir, bertasbih.
Fabiayyialaa irabbikuma tukadzdzibaan.
***
(Bersambung)
Rindu rindu yang membuncah didalam hati
Menderu tak berarah, membahana tak bertuah
Sendu pilu yang membelenggu kalbu
Merantai dawai dawai cinta yang berserak
Sayu pandang yang mengharu
Melantun kidung asmaraku padamu
Katub bibir yang membisu
Melukis indah samudera kasihmu
Langganan:
Postingan (Atom)